Rabu, 13 Januari 2010

BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK
(PMR)


A. Pendahuluan
Model pembelajaran diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanaan aktivitas belajar mengajar.
Sering ditemukan bahwa guru menguasai materi suatu objek dengan baik, tetapi tidak dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik. Hal itu terjadi karena kegiatan tersebut tidak didasarkan pada model pembelajaran tertentu sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa rendah. Sehubungan dengan hal itu, maka diperlukan berbagai konsep dan teori belajar maka dikembangkan suatu model pembelajaran realistik.
Dalam pembelajaran matematika selama ini, ”dunia nyata” hanya dijadikan tempat mengaplikasikan konsep. Siswa mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).

B. Pengertian PMR
Soedjadi (2001: 2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada masa yang lalu.
Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilaksanakan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan”realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (slettenhass, 2000).
Berdasarkan uraian masalah di atas, jelaslah bahwa pembelajaran matematika realistik bertolak dari masalah-masalah sesuai dengan pengalaman siswa, siswa aktif, guru berperan sebagai fasilitator, siswa bebas mengeluarkan idenya, siswa bebas mengkonsumsikan ide-idenya satu sama lain. Guru membantu (secara terbatas) siswa membandingkan ide-ide itu dan membimbing mereka untuk mengambil keputusan tentang ide mana yang paling benar, efisien dan mudah dipahami buat mereka.
Dalam kaitannya dengan matematika sebagai kegiatan manusia maka siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan kembali ide atau konsep matematika secara mandiri sebagai akibat dari pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan situasi nyata (realitas). Setelah pembentukan dan menemukan konsep-konsep matematika, siswa menggunakannya untuk menyelesaikan masalah kontekstual selanjutnya sebagai aplikasi untuk memperkuat pemahaman konsep.
Tapi apakah PMR dapat menjadi pilihan yang terbaik saat ini atau sebagai solusi yang tepat untuk “mengatasi” problematika pembelajaran matematika di Indonesia? Untuk mengurai jawaban terhadap pertanyaan tersebut diperlukan berbagai pencermatan dan kajian lebih lanjut, karena PMR di Indonesia jelas akan membawa berbagai dampak yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Dampak itu antara lain akan dirasakan dalam (i) penyusunan buku ajar (buku guru maupun siswa ), (ii) proses pembelajaran dan evaluasinya, (iii) tuntutan terhadap kreativitas guru. (M. Asikin Hidayat, 2001).
Terdapat dua jenis matematisasi yang diformulasikan oleh (Treffers 1991), yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu :
1. Mekanistik, merupakan pedekatan sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks).
2. Empirik, merupakan satu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal.
3. Strukturalistik, merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
4. Realistik, merupakan suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pokok permasalahan.

C. Karakteristik PMR Menurut Pandangan Konstrukstivis
1. Karakteristik PMR
Karakteristik PMR adalah menggunakan konteks ”dunia nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (treffers, 1991; Van den Heuvel-Panhuizen, 1998).
a. Menggunakan konteks “dunia nyata”
Dalam PMR, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung dan siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata.
b. Menggunakan model-model (matematisasi)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematika yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi abstrak atau dari matematika informan ke matematika formal.
c. Menggunakan produksi dan konstruksi (kontribusi siswa )
Streffland (1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi–strategi informan siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam mengembangkan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
d. Menggunakan interaktif
Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negoisasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pernyataan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
e. Menggunakan keterkaitan (intertwinment)
Dalam PMR pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.
2. PMR menurut pandangan kontruktivis
Pembelajaran matematika menurut pandangan kontruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi.
Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada :
a) Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.
b) Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa.
c) Informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya.
d) Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.
Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone Proximal Development (ZPD) didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Scaffolding maksudnya seorang guru memberikan bantuan kepada siswanya untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam lankah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Ada tiga prinsip dalam mendesain pembelajaran matematika realistik menurut Gravemeijer (1994: 90), yaitu sebagai berikut :
• Guided reinvention and progressive mathematizing
Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan matematis secara progresif. Prinsip ini mengacu pada pernyataan tentang konstruktivisme bahwa pengetahuan tidak dapat diajarkan atau ditransfer oleh guru, tetapi hanya dapat dikonstruksi oleh siswa itu sendiri.
Melalui topik-topik yang disajikan harus diberi kesempatan untuk mengalami sendiri proses yang “sama” sebagaimana konsep matematika ditemukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara : memasukkan sejarah matematika, memberikan ‘contextual problems’ yang mempunyai berbagai solusi, dilanjutkan dengan “mathematizing” produser solusi yang sama, serta perancangan rute belajar sedemikian rupa sehingga siswa menemukan sendiri konsep atau hasil. Situasi yang berisikan fenomena dan dijadikan bahan serta area aplikasi dalam pengajaran matematika haruslah berangkat dari keadaan yang nyata. Dalam hal ini dua macam matematisasi (horisontal dan vertikal) haruslah dijadikan dasar untuk berangkat dari tingkat belajar matematika secara real ke tingkat belajar matematika secara formal. (M. Asikin Hidayat, 2001) .
• Didactical phenomenology
Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam fenomena pembelajaran ini menekankan pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika pada siswa.
Topik-topik ini dipilih dengan dua pertimbangan yaitu :
a. aspek kecocokan dalam pembelajaran
b. kecocokan dampak dalam proses re-invention
• Self developed models
Prinsip yang ketiga adalah pengembangan model sendiri. Siswa mengembangkan model sendiri sewaktu memecahkan masalah-masalah kontekstual.
Self developed models adalah model suatu situasi yang dekat dengan alam siswa. Dengan generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Model-of akan bergeser menjadi model-for maasalah yang sejenis. Pada akhirnya akan menjadi pengetahuan dalam formal matematika. (M. Asikin Hidayat, 2001).
D. langkah-langkah Model Pembelajaran
Langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Memahami maasalah kontekstual
Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siaswa untuk memahami masalah tersebut. Pada tahap ini “karakteristik” pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah menggunakan masalah kontekstual yang diangkat sebagai starting point dalam pembelajaran untuk menuju ke matematika formal sampai ke pembentukan konsep.
2. Menjelaskan masalah kontekstual
Jika situasi siswa macet dalam menyelesaikan masalah, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya (bersifat terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang belum dipahami oleh siswa, penjelasan hanya sampai siswa mengerti maksud soal. Pada tahap ini “karakteristik” pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah karakteristik yaitu adanya interaksi antara siswa dengan guru sebagai pembimbing.
3. Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan caara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembaran kerja, siswa mengerjakan soal dalam tingkat kesulitan yang berbeda. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara sendiri berupa pemberian petunjuk atau pertanyaan seperti, bagaimana kamu tahu itu , bagaimana mendapatkannya, mengapa kamu berpikir demikian, dan lain-lain berupa saran.

Pada tahap ini, beberapa dari ‘prinsip’ pembelajaran matematika realistik akan muncul dalam langkah ini misalnya prinsip self developed models. Sedangkan pada ‘karakteristik’ pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah kedua yaitu menggunakan model.
4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban secara berkelompok, untuk selanjutnya dibandingkan (memeriksa, memperbaiki) dan didiskusikan di dalam kelas. Sementara di tahap ini sebagai ajang melatih siswa mengeluarkan ide dari kontribusi siswa di dalam berinteraksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan sarana prasarana untuk mengoptimalkan pembelajaran.
5. Menyimpulkan
Dari hasil diskusi, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur. Pada tahap ini ‘karakteristik’ pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah adanya interaksi antara siswa dengan guru sebagai pembimbing.

E. Konsepsi Siswa dalam PMR
Pendekatan matematika realistik mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut :
• Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
• Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.
• Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan.
• Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya berasal dari seperangkat ragam pengalaman.
• Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.
Titik awal proses belajar dengan pendekatan matematika realistik menekankan pada konsepsi yang sudah dikenal oleh siswa. Setiap siswa mempunyai konsep awal tentang ide-ide matematika. Setelah siswa terlibat secara bermakna dalam proses belajar, maka proses tersebut dapat ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi. Pada proses pembentukan pengetahuan baru tersebut, siswa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri. (M. Asikin Hidayat, 2001).

F. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Matematika Realistik
Menurut pendapat Suwarsono (2001: 5) terdapat beberapa kelebihan dari Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) antara lain :
1. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan dunia nyata) dan kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
2. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikontruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang mereka.
3. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus sama dengan yang lain, asalkan orang itu bersungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut, kemudian membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan yang lain, sehingga penyelesaian paling tepat sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian soal atau masalah tersebut.
4. Penyelesaian paling tepat sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian soal atau masalah tersebut.
5. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama, orang harus mempelajari proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika, dengan bantuan pihak lain yang lebih tahu (misalnya guru).
Sedangkan beberapa kelemahan PMR, menurut pendapat Suwarsono (2000: 8) antara lain:
1. Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah dipraktikan, misalnya mengenai siswa, guru, dan peranan soal kontekstual.
2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
3. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh guru.
4. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, melalui soal-soal kontekstual, proses matematisasi horisontal dan vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali konsep-sonsep matematika tertentu.



DAFTAR PUSTAKA

Asikin, M. 2001. Realistics Mathematics Educations (RME): Sebuah harapan baru dalam pembelajaran matematika. Makalah Seminar. Disajikan pada Seminar Nasional RME di UNESA Surabaya, 24 Februari.

Soekamto, Toeti dan Udin Saripudin Winataputra. 1977. Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka

Suharta, I Gusti Putu. 1988. Matematika Realistik. www.fi.nl

Tidak ada komentar:

Posting Komentar