Rabu, 13 Januari 2010

PEMBELAJARAN QUANTUM

A. Pendahuluan
Sejalan dengan perkembangan dunia pendidikan, ditemukan sebuah pendekatan pengajaran yang disebut dengan Quantum Teaching. Quantum Teaching sendiri berawal dari sebuah upaya Dr Georgi Lozanov, pendidik asal Bulgaria, yang bereksperimen dengan suggestology. Prinsipnya, sugesti dapat dan pasti mempengaruhi hasil belajar.
Pada perkembangan selanjutnya, Bobbi DePorter (penulis buku best seller Quantum Learning dan Quantum Teaching), murid Lozanov, dan Mike Hernacki, mantan guru dan penulis, mengembangkan konsep Lozanov menjadi Quantum Learning. Metode belajar ini diadopsi dari beberapa teori. Antara lain sugesti, teori otak kanan dan kiri, teori otak triune, pilihan modalitas (visual, auditorial, dan kinestetik) dan pendidikan holistik.
Konsep itu sukses diterapkan di Super Camp, lembaga kursus yang dibangun de Porter. Dilakukan sebuah penelitian untuk disertasi doktroral pada 1991, yang melibatkan sekitar 6.042 responden. Dari penelitian itu, Super Camp berhasil mendongkrak potensi psikis siswa. Antara lain peningkatan motivasi 80%, nilai belajar 73% , meningkatkan harga diri 84% dan melanjutkan penggunaan keterampilan 98%.
Persamaan Quantum Teaching ini diibaratkan mengikuti konsep Fisika Quantum yaitu:
E = mc2
E = Energi (antusiasme, efektivitas belajar-mengajar,semangat)
M = massa (semua individu yang terlibat, situasi, materi, fisik)
c = interaksi (hubungan yang tercipta di kelas)
Berdasarkan persamaan ini dapat dipahami, interaksi serta proses pembelajaran yang tercipta akan berpengaruh besar sekali terhadap efektivitas dan antusiasme belajar pada peserta didik.
B. Arti Quantum Teaching
Kata Quantum sendiri berarti interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya. Jadi Quantum Teaching menciptakan lingkungan belajar yang efektif, dengan cara menggunakan unsur yang ada pada siswa dan lingkungan belajarnya melalui interaksi yang terjadi di dalam kelas.
Dalam Quantum Teaching bersandar pada konsep ‘Bawalah dunia mereka ke dunia kita, dan antarkan dunia kita ke dunia mereka’. Hal ini menunjukkan, betapa pengajaran dengan Quantum Teaching tidak hanya menawarkan materi yang mesti dipelajari siswa. Tetapi jauh dari itu, siswa juga diajarkan bagaimana menciptakan hubungan emosional yang baik dalam dan ketika belajar.
Dengan Quantum teaching kita dapat mengajar dengan memfungsikan kedua belahan otak kiri dan otak kanan pada fungsinya masing-masing. Penelitian di Universitas California mengungkapkan bahwa masing-masing otak tersebut mengendalikan aktivitas intelektual yang berbeda.
Otak kiri menangani angka, susunan, logika, organisasi, dan hal lain yang memerlukan pemikiran rasional, beralasan dengan pertimbangan yang deduktif dan analitis. Bgian otak ini yang digunakan berpikir mengenai hal-hal yang bersifat matematis dan ilmiah. Kita dapat memfokuskan diri pada garis dan rumus, dengan mengabaikan kepelikan tentang warna dan irama.
Otak kanan mengurusi masalah pemikiran yang abstrak dengan penuh imajinasi. Misalnya warna, ritme, musik, dan proses pemikiran lain yang memerlukan kreativitas, orisinalitas, daya cipta dan bakat artistik. Pemikiran otak kanan lebih santai, kurang terikat oleh parameter ilmiah dan matematis. Kita dapat melibatkan diri dengan segala rupa dan bentuk, warna-warni dan kelembutan, dan mengabaikan segala ukuran dan dimensi yang mengikat.
C. Prinsip Quantum Teaching
Prinsip dari Quantum Teaching, yaitu:
1. Segalanya berbicara, lingkungan kelas, bahasa tubuh, dan bahan pelajaran semuanya menyampaikan pesan tentang belajar.
2. Segalanya bertujuan, siswa diberi tahu apa tujuan mereka mempelajari materi yang kita ajarkan.
3. Pengalaman sebelum konsep, dari pengalaman guru dan siswa diperoleh banyak konsep.
4. Akui setiap usaha, menghargai usaha siswa sekecil apa pun.
5. Jika layak dipelajari, layak pula dirayakan, kita harus memberi pujian pada siswa yang terlibat aktif pada pelajaran kita. Misalnya saja dengan memberi tepuk tangan, berkata: bagus!, baik!, dll.
rancangan Belajar Quantum Teaching yang dikenal sebagai TANDUR
1. TUMBUHKAN. Tumbuh- kan minat dengan memuaskan “Apakah Manfaat BAgiKU “
(AMBAK), dan manfaatkan kehidupan pelajar
1. ALAMI. Ciptakan atau datangkan pengalaman umum yang dapat dimengerti semua pelajar
2. NAMAI. Sediakan kata kunci, konsep, model, rumus, strategi sebuah “masukan”
3. DEMONSTRASIKAN. Sediakan kesempatan bagi pelajar untuk ‘menunjukkan bahwa mereka tahu”
4. ULANGI. Tunjukkan pelajar cara-cara mengulang materi dan menegaskan , “Aku tahu dan memang tahu ini”.
5. RAYAKAN. Pengakuan untuk penyelesaian, partisipasi, dan pemerolehan keterampilan dan ilmu pengetahuan
D. Petunjuk Pelaksanaan Quantum Teaching (Contoh Kasus di SMA Anu)
1. Guru wajib memberi keteladanan sehingga layak menjadi panutan bagi peserta didik, berbicaralah yang jujur , jadi pendengar yang baik dan selalu gembira (tersenyum).
2. Guru harus membuat suasana belajar yang menyenangkan/kegembiraan. “learning is most effective when it’s fun. ‘Kegembiraan’ disini berarti bangkitnya minat, adanya keterlibatan penuh, serta terciptanya makna, pemahaman (penguasaan atas materi yang dipelajari) , dan nilai yang membahagiakan pada diri peserta didik.
3. Lingkungan Belajar yang aman, nyaman dan bisa membawa kegembiraan:
a. Pengaturan meja dan kursi diubah dengan berbagai bentuk seperti bentuk U, lingkaran
b. Beri tanaman, hiasan lain di luar maupun di dalam kelas
c. Pengecatan warna ruangan, meja, dan kursi yang yang menjadi keinginan dan kebanggaan kelas
d. Ruangan kelas dihiasi dengan poster yang isinya slogan, kata mutiara pemacu semangat, misalnya kata: “Apapun yang dapat Anda lakukan, atau ingin Anda lakukan, mulalilah. Keberanian memiliki kecerdasan, kekuatan, dan keajaiban di dalamnya” (Goethe).
4. Guru harus memahami bahwa perasaan dan sikap siswa akan terlibat dan berpengaruh yang kuat pada proses belajarnya. Guru dapat mempengaruhi suasana emosi siswa dengan cara :
a. kegiatan-kegiatan pelepas stres seperti menyanyi bersama, mengadakan permainan, outbond dan sebagainya.
b. aktivitas-aktivitas yang menambah kekompakan seperti melakukan tour, makan bersama dan sebagainya.
c. menyediakan forum bagi emosi untuk dikenali dan diungkapkan yaitu melalui bimbingan konseling baik oleh petugas BP/BK maupun guru itu sendiri.
5. Memutar musik klasik ketika proses belajar mengajar berlangsung. Namun sekali-kali akan diputarkan instrumental dan bisa diselingi jenis musik lain untuk bersenang-senang dan jeda dalam pembelajaran.
6. Sikap guru kepada peserta didik :
a. Pengarahan “Apa manfaat materi pelajaran ini bagi peserta didik” dan tujuan
b. Perlakukan peserta didik sebagai manusia sederajat
c. Selalu menghargai setiap usaha dan merayakan hasil kerja peserta didik
d. Memberikan stimulus yang mendorong peserta didik
e. Mendukung peserta 100% dan ajak semua anggota kelas untuk saling mendukung
f. Memberi peluang peserta didik untuk mengamati dan merekam data hasil pengamatan, menjawab pertanyaan dan mempertanyakan jawaban, menjelaskan sambil memberikan argumentasi, dan sejumlah penalaran.
7. Terapkan 8 kunci keunggulan ini kedalam rencana pelajaran setiap hari. Kaitkan kunci-kunci ini dengan kurikulum.
a. Integritas: Bersikaplah jujur, tulus, dan menyeluruh. Selaraskan nilai-nilai dengan perilaku Anda
b. Kegagalan Awal Kesuksesan: Pahamilah bahwa kegagalan hanyalah memberikan informasi yang Anda butuhkan untuk sukses
c. Bicaralah dengan Niat Baik: Berbicaralah dengan pengertian positif, dan bertanggung jawablah untuk berkomunikasi yang jujur dan lurus. Hindari gosip.
d. Hidup di Saat Ini: Pusatkan perhatian pada saat ini dan kerjakan dengan sebaik-baiknya
e. Komitmen: Penuhi janji dan kewajiban, laksanakan visi dan lakukan apa yang diperlukan untuk menyelesaikan pekerjaan
f. Tanggung Jawab: Bertanggungjawablah atas tindakan Anda.
g. Sikap Luwes dan Fleksibel: Bersikaplah terbuka terhadap perubahan atau pendekatan baru yang dapat membantu Anda memperoleh hasil yang diinginkan.
h. Keseimbangan: Jaga keselarasan pikiran, tubuh, dan jiwa Anda. Sisihkan waktu untuk membangun dan memelihara tiga bidang ini.
8. Guru yang seorang Quantum Teacher mempunyai ciri-ciri dalam berkomunikasi yaitu :
a. Antusias : menampilkan semangat untuk hidup
b. Berwibawa : menggerakkan orang
c. Positif : melihat peluang dalam setiap saat
d. Supel : mudah menjalin hubungan dengan beragam peserta didik
e. Humoris : berhati lapang untuk menerima kesalahan
f. Luwes : menemukan lebih dari satu untuk mencapai hasil
g. Menerima : mencari di balik tindakan dan penampilan luar untuk menemukan nilai-nilai inti
h. Fasih : berkomunikasi dengan jelas, ringkas, dan jujur
i. Tulus : memiliki niat dan motivasi positif
j. Spontan : dapat mengikuti irama dan tetap menjaga hasil
k. Menarik dan tertarik : mengaitkan setiap informasi dengan pengalaman hidup peserta didik dan peduli akan diri peserta didik
l. Menganggap peserta didik “mampu” : percaya akan keberhasilan peserta didik
m. Menetapkan dan memelihara harapan tinggi : membuat pedoman kualitas hubungan dan kualitas kerja yang memacu setiap peserta didik untuk berusaha sebaik mungkin
9. Semua peserta didik diusahakan untuk memiliki modul/buku sumber belajar lainnya, dan buku yang bisa dipinjam dari Perpustakaan. Tidak diperkenankan guru mencatat/menyuruh peserta didik untuk mencatat pelajaran di papan tulis
10. Dalam melakukan penilaian guru harus berorientasi pada :
a. Acuan/patokan. Semua kompetensi perlu dinilai sesuai dengan acuan kriteria berdasarkan indikator hasil belajar.
b. Ketuntasan Belajar. Ketuntasan belajar ditetapkan dengan ukuran atau tingkat pencapaian kompetensi yang memadai dan dapat dipertanggungjawakan sebagai prasyarat penguasaan kompetensi berikutnya.
c. Metoda penilaian dengan menggunakan variasi, antara lain
Tes Tertulis : pertanyaan-pertanyaan tertulis
Observasi : pengamatan kegiatan praktik
Wawancara : pertanyaan-pertanyaan langsung tatap muka
Portfolio : Pengamatan melalui bukti-bukti hasil belajar
Demonstrasi : Pengamatan langsung kegiatan praktik/pekerjaan yang sebenarnya
1. Kebijakan sekolah dalam KBM yang patut diperhatikan oleh guru :
a. Guru wajib mengabsensi peserta didik setiap masuk kelas
b. Masuk kelas dan keluar kelas tepat waktu. Jam pertama misalnya 07.30 dan jam terakhir harus pulang sama-sama setelah bel berbunyi. Pada jam istirahat tidak diperkenankan ada kegiatan belajar mengajar.
c. Guru wajib membawa buku absen & daftar nilai, Silabus, RPP, program semester, modul/bahan ajar sejenisnya ketika sedang mengajar
d. Selama KBM tidak boleh ada gangguan yang dapat mengganggu konsentrasi peserta didik. Misalnya guru/peserta berkomitmen bersama untuk tidak mengaktifkan HP ketika PBM berlangsung
e. Guru harus mendukung kebijakan sekolah baik yang berlaku baik untuk dirinya sendiri maupun untuk peserta didik dan berlaku proaktif.
f. Untuk pelanggaran oleh peserta didik maka hukuman dapat ditentukan secara musyawarah bersama peserta didik, namun untuk pelanggaran kategori berat sekolah berat menentukan kebijakan sendiri.
1. Pengalaman belajar hendaknya menggunakan sebanyak mungkin indera untuk berinteraksi dengan isi pembelajaran.
a. Terdapat kegiatan membaca, menjelaskan, demonstrasi, praktek, diskusi, kerja kelompok, pengulangan kembali dalam menjelaskan dan cara lain yang bisa ditemukan oleh guru.
b. Gunakan spidol warna-warni dalam membantu menjelaskan di papan tulis.
c. Disarankan menggunakan media pendidikan seperti projector, bagan, dan sebagainya.
d. Diperbolehkan belajar di luar kelas seperti di bawah pohon, dipinggir jalan
Siswa belajar : 10% dari apa yang dibaca, 20% dari apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang di lihat dan dengar, 70% dari apa yang dikatakan, dan 90% dari apa yang dikatakan dan lakukan (Vernon A. Magnessen, 1983). Ini menunjukkan guru mengajar dengan ceramah, maka siswa akan mengingat dan menguasai hanya 20% karena siswa hanya mendengarkan. Sebaliknya jika guru meminta siswa untuk melakukan sesuatu dan melaporkanknya maka akan mengingat dan menguasai sebanyak 90%.
1. Guru harus selalu menghargai setiap usaha dan hasil kerja siswa serta memberikan stimulus yang mendorong siswa untuk bernuat dan berpikir sambil menghasilkan kara dan pikiran kreatif. Ini memungkinkan siswa menjadi pembelajar seumur hidup. Untuk itu guru bisa menggunakan berbagai metoda dan pengalaman belajar melalui contoh yang konstekstual. Setiap kesuksesan dalam belajar siswa layak untuk dirayakan.
1. Suasana belajar siswa, guru dapat mengarahkan kearah ke ranah kognitif, afektif dan psikomotorik. Suasana belajar juga melibatkan mental-fisik-emosi –sosial siswa secara aktif supaya memberi peluang siswa untuk mengamati dan merekam data hasil pengamatan, menjawab pertanyaan dan mempertanyakan jawaban, menjelaskan sambil memberikan argumentasi, dan sejumlah penalaran.
E. Penutup
Sekolah yang didirikan DePorter itu, menjadi pusat percontohan tempat metode Quantum dipraktikkan. Remaja, karyawan, eksekutif perusahaan, menjadi murid di sekolah ini. Tujuannya satu: menjadi manusia baru. Itulah sebabnya Jack Canfielf, penulis buku Chicken Soup of the Soul mengatakan, metode ini akan mengobarkan kembali api yang ada di dalam diri Anda.
Penulis telah melakukan uji coba di SMK Y untuk melaksanakan pengajaran model quantum ini, namun ternyata tidak semudah harapan dan teori yang ditulis oleh DePorter, penulis mengalami hambatan antara lain :
1. Ketika ada musik dalam pembelajaran, para guru merasa keberatan dan merasa aneh. Mereka menganggap musik justru mengganggu konsentrasi
2. Guru dan Siswa SMK Y tidak terbiasa mendengar musik klasik, instrument yang lembut. Sehingga ketika musik dipaksakan di dengarkan di kelas, siswa malah mengantuk dan guru merasa terganggu
3. Tidak bisa selamanya guru berlaku manis, baik dan perhatian kepada siswa. Justru sikap ini bisa diremehkan siswa. Jadi guru dalam hal ini harus lengkap perangainya bisa marah namun juga bisa ramah.
Namun untuk penerapan di SMA Favorite di sebuah kota Anu dan di sebuah Lembaga Bimbingan Belajar, sungguh Quantum Teaching merupakan keberhasilan yang luar biasa antara guru, siswa dan sekolah/Lembaga Bimbel dalam bersama-sama meraih puncak prestasi. Jika Anda menjadi guru apa dan di sekolah mana saja silahkan mencoba menerapkan Quantum Teaching, dan penulis ucapkan : Selamat menjadi Guru Quantum yang ‘kan menjadikan kelas “Bergairah dan Menyenangkan”
Sumber :
Buzan, Tony, The Min Map Book, New York: Dutton, 1993
DePorter, Bobbi and Mike Hernacki, Quantum Learning, New York: Dell Publishing, 2001
________. et. Al., Quantum Teaching, New York : dell Publishing, 2001.
Lozanov, George, Suggestology and Suggestopedia, Paris : makalah yang disajikan kepada United Nations Educational Scientific and Cultural Organization, 1087
Megensen, Vernon, Innovative Abstracks 5, 25 National Institute for Staff and Organizational Development, University of Texas, Austin, Texas, 1993
TEORI-TEORIBELAJAR DAN PEMBELAJARAN



Teori-teori belajar menerangkan apa yang terjadi selama mahasiswa belajar. Berdasarkan perbedaan sudut pandang tentang proses belajar, maka teori belajar dapat dibagi menjadi beberapa kelompok yaitu teori behaviorisme, teori kognitivisme, teori belajar berdasarkan psikologi sosial, dan teori belajar Gagne.
A. Teori Behaviorisme
Menurut teori ini manusia sangat dipengaruhi oleh kejadian-kejadian di dalam lingkungannya, yang akan memberikan pengalaman-pengalaman terntentu kepadanya. Belajar di sini merupakan perubahan tingkahlaku yang terjadi berdasarkan paradigma S-R (Stimulus-Respon), yaitu suatu proses yang memberikan respon tertentu terhadap yang datang dari luar.
Prinsip utama teori ini ialah rangsangan dan timbal balik serta peneguhan. Tumpuan objektif penggunaan ialah hanya pada peringkat kepahaman dan pengetahuan. Teori ini akan berpegang kepada anggapan bahawa pembelajaran meliputi tanggungjawab guru, dan diawasi sepenuhnya olehsistem pengajaran. Teori ini juga berlandaskan kepada anggapan bahawa pelajar akan mengekalkan sesuatu tindakan jika peneguhan yang bersesuaian diberikan kepadanya. Sebagai contoh, apabila seseorang pelajar diberikan ganjaran setelah menunjukkan sesuatu timbal balik, ia akan mengulangi timbal balik tersebut setiap kali rangsangan yang serupa ditemui (http://Saungwali,wordpress.com/2007/05/23/teori dan strategi pembelajaran). Proses S-R ini terdiri dari beberapa unsur, yaitu dorongan (drive), rangsangan (stimulan), respons, dan penguatan (reinforcement). Proses belajar menurut behaviorisme lebih dianggap sebagai suatu proses yang bersifat mekanistik dan otometik tanpa membicarakan apa yang terjadi selama itu di dalam diri mahasiswa yang belajar (Galloway, 1976).
Thomdike merupakan orang yang pertama kali menerangkan hubungan S-R ini. Beberapa macam teori behaviorisme yang terkenal adalah :


1. Classical Conditioning (Pavlov)
Teori ini didasarkan atas reaksi sistem tak terkontrol di dalam diri seseorang dan reaksi emosional yang dikontrol oleh sistem urat syaraf otonom serta gerak refleks setelah menerima stimulus dari luar. Stimulus tidak terkondisi (US) merupakan stimulus yang secara biologis dapat menyebabkan adanya respon dalam bentuk refleks (UR). Proses ini disebut extinion, apabila diberikan US respons CR yang hilang dapat muncul kembali.
Dengan stimulus tanpa kondisi (US) diberikan suatu stimulus lain yang netral maka secara bersama kedua stimulus tersebut akan menghilangkan respon yang merupakan reflek (UR), dan akan timbul respon baru yang diharapkan (CR). Stimulus netral yang diberikan bersama stimulus pertama ini disebut stimulus terkondisi yang memang diharapkan, maka dapat dikatakan bahwa seseorang telah belajar.
Secara singkat jalannya percobaan adalah sebagai berikut :
a) Kepada anjing diperlihatkan makanan (anjing dalam keadaan lapar). Dalam percobaan anjing mengeluarkan air liur, jadi ada reaksi. Makanan disebut stimulus tak bersyarat (Unconditioning Stimulus) dan mengeluarkan air liur disebut reaksi tak bersyarat (Unconditioning Respon).
b) Kepada anjing diperlihatkan sinar (anjing tetap dalam keadaan lapar). Ternyata tidak terlihat air liur. Pavlov ingin mencoba agar anjing dibuat bereaksi terhadap sinar yang diperlihatkan kepadanya. Caranya ialah dengan memberikan persyaratan berupa makanan yang secara alami dapat menimbulkan reaksi. Dalam hal ini belum terjadi peristiwa ‘belajar’ pada anjing.
c) Sinar disorotkan, beberapa detik, kemudian makanan diperlihatkan. Pada percobaan terlihat mula-mula air liur tidak keluar, tetapi setelah melihat makanan, baru anjing bereaksi. Dalam hal ini belum terjadi peristiwa ‘belajar’ pada anjing.
d) Pada pon yang ketiga, diulang dengan jarak pemberian makanan yang bervariasi.
Akhirnya pada frekuensi tertentu pada jarak waktu pemberian makanan tertentu, Pavlov berhasil membuat anjing bereaksi terhadap sinar tanpa diikuti pemberian makanan. Dengan kata lain, disebut bahwa stimulus (sinar) telah disyarati dengan makanan. Oleh karena itu sinar disebut stimulus beryarat dan peristiwa keluarnya air liur karena melihat sinar disebut respon bersyarat.
2. Operant Conditioning
Teori Skinner ini menyatakan bahwa setiap kali memperoleh stimulus maka seseorang akan memberikan respon berdasarkan hubungan S-R. Respons yang benar perlu diberi penguatan (reinforcement). Menurut Hill (1980) pemberian penguatan terhadap respons dapat diberikan secara kontinu (continuous reinforcement), dan selang seling (intermittment reinformcement).
Cara yang dipakai di dalam intermittent reinforcement ini dapat bermacam-macam dan dikelompokan menjadi ratio apabila pemberian penguatan tergantung pada jumlah respon yang diberikan) dan interval (apabila pemberian penguatan tergantung pada waktu).
Empat macam pemberian penguatan yang tidak bersifat kontinu atau yang dikelompokkan ke dalam cara pemberian penguatan intermittent, yaitu berdasarkan jadwal (Leahey & Harris, 1985) :
a) Dengan perbandingan tetap (fixced ratio) : pemberian penguatan tergantung pada berapa kali individu memberikan respons.
b) Dengan perbandingan tidak tetap (bariable ratio) : disini tetap jumlah respons yang menentukan pemberian penguatan, tetapi perbandingan berubah-ubah dari penguatan ke penguatan berikutnya.
c) Dengan interval tetap (fixced interval) : pemberian penguatan dengan jarak waktu tertentu.
d) Dengan interval tidak tetap (variable interval) : pemberian penguatan dengan jarak waktu antara yang tidak tetap.
Selanjutnya menurut Leahey & Harris, ratiolah yang dapat memberikan hasil lebih baik dibanding dengan cara dengan interval.
Perbedaan antara classical dan operant conditioning terletak pada hal-hal tersebut dibawah ini :
a) Respons
Menurut Pavlov (classical conditioning) respon di kontrol oleh pihak luar, pihak inilah yang menentukan kapan dan apa yang akan diberikan kepada stimulus. Peranan orang yang belajar bersifat pasif karena untuk mengadakan respons perlu adanya suatu stimulus tertentu. Sebaliknya Skinner mengatakan bahwa pihak luar/ pengajarlah yang harus menanti adanya respons yang diharapkan/ benar.
b) Penguatan
Pavlov mengatakan bahwa stimulus yang tidak terkontrol (unconditioned stimulus) mempunyai hubungan dengan penguatan. Sebaliknya menurut Skinner responslah yang merupakan sumber penguatan. Adanya respon menyebabkan sesorang memperoleh penguatan, dan hal ini menyebabkan respons tersebut cenderung untuk diulang-ulang.
Prinsip-prinsip teori behaviorisme yang banyak dipakai di dunia pendidikan ialah (Hartley & Davies, 1978) :
a) Proses belajar dapat terjadi dengan baik apabila mahasiswa ikut berpartisipasi secara aktif di dalamnya.
b) Materi pelajaran dibentuk dalam bentuk unit-unit kecil dan diatur berdasarkan urutan yang logis.
c) Tiap-tiap respons perlu diberi umpan balik secara langsung.
d) Setiap kali mahasiswa dapat memberikan respon yang benar maka ia perlu diberi penguatan.
Contoh terkenal penerapan prisip behaviorisme di dunia pendidikan adalah pengajaran terprogram (programmed learning). Contoh lain penerapan behaviorisme di dunia pendidikan adalah prinsip belajar tuntas (mastery learning), yang menyatakan bahwa semua orang dapat belajar dengan baik apabila diberi waktu cukup dan pengajaran dirancang dengan baik pula.

B. Teori Kognitivisme
Menurut Galloway (1976) belajar merupakan suatu proses internal yang mencakup ingatan, retensi, pengolahan informasi, emosi, dan faktor-faktor lain. Proses belajar disini antara lain mencakup pengaturan stimulasi yang diterima dan menyesuaikannya dengan struktur kognitif yang terbentuk di dalam pikiran seseorang berdasarkan pengalaman-pengalaman sebelumnya.
Teori ini berkaitan dengan ingatan yaitu ingatan jangka panjang dan ingatan jangka pendek. Salah satu teori kognitif ialah pemprosesan masalah yang digunakan dalam pengajaran pembelajaran komputer. Teori ini juga menyediakan pembelajaran aktif dimana pelajar bertindak secara aktif memperoleh, menstruktur semula dan mengkaji pengetahuan untuk menjadikannya bermakna. Pelajar memerlukan pemindahan pembelajaran dan pengetahuan. Teori ini lebih menekan kepada pengetahuan kini dan pengetahuan yang lepas. Untuk membantu pelajar memperoleh penyelesaian, hendaklah dalam bentuk simbol dan lain-lain agar penyelesaian itu lebih teratur dan mudah diperoleh. Alessi & Trollip (1991) mempercayai bahwa beberapa bidang dalam teori kognitif sangat penting dalam mereka bentuk bahan pengajaran terancang berasaskan komputer. Bidang-bidang tersebut ialah pengamatan dan penanggapan , ingatan , kepahaman pembelajaran secara aktif , motivasi, pemindahan pembelajaran , dan perbedaan individu (http://Saungwali.wordpress.com/2007/05/23/teori dan strategi pengajaran).
Beberapa teori belajar yang didasarkan atas kognitivisme dan yang seringkali dipakai didalam proses belajar mengajar ialah:
1. Teori Perkembangan Piaget
Menurut Piaget perkembangan kognitif merupakan suatu proses genetik, artinya proses yang didasarkan atas mekanisme biologis perkembangan sistem syaraf. Dengan makin bertambahnya umur seseorang maka makin komplekslah susunan sel syarafnya dan makin meningkat pula kemampuannya (Travers, 1976).
Menurut Piaget proses belajar seseorang akan mengikuti pola dan tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya. Penjenjangan ini bersifat hierarkhis, artinya harus dilalui berdasarkan urutan tertentu dan orang tidak dapat belajar sesuat yang berada diluar tahap kognitifnya.
a) Sensomotorik (0-2 tahun) yang bersifat ekstrenal,
b) Preoperasional (2-6 tahun),
c) Operasional konkrit (6/7-11/12 tahun) dan
d) Jenjang formal (11/12-18 tahun) yang bersifat internal.
Jadi mahasiswa yang telah berumur 17-18 tahun keatas dengan demikian telah mencapai jenjang kognitif formal sehingga mereka mampu untuk berpikir abstrak/megadakan penalaran.
Paiget berpendapat bahwa asas pada semua pembelajaran ialah aktivitas anak-anak itu sendiri. Beliau juga menegaskan kepentingan interaksi ide-ide antara anak-anak tersebut dengan kawan-kawan sebayanya penting untuk perkembangan mental (www.geocities.com/pluto_stewart/artikel_ilmiah_1.htm).
Worell & Stilwell juga menunjuk kelemahan-kelemahan pada teori yang diajukan Piaget ini, yaitu :
a) Dengan adanya teori Piaget, belajar individual tidak dapat dilaksanakan karena untuk belajar mandiri diperlukan kemampuan kognitif yang lengkap dan kompleks yang tidak dapat diuraikan dalam jenjang-jenjang.
b) Hasil-hasil penelitian menunjukan bahwa ketrampilan-ketrampilan kognitif tingkat tinggi dapat dicapai anak-anak yang belum mencapai umur yang sesuai dengan janjang-jenjang di teori Piaget.
c) Sebaliknya, hasil-hasil penelitian juga menunjukan bahwa banyak orang yang tidak mencapai tahap operasi formal tanpa adanya manipulasi yang bersifat konkrit seperti pemakaian gambar, demonstrasi, pembagian model dan semacam itu.
d) Ketrampilan ternyata lebih baik dipelajari melalui urutan, bukan berdasarkan tahap umur.
2. Teori Kognitif Bruner
Bruner menekankan pada adanya pengaruh kebudayaan terhadap tingkah laku seseorang. Kalau Piaget menyatakan bahwa perkembangan kognitif menyebabkan perkembangan bahasa seseorang, sebaliknya Bruner menyatakan bahwa perkembangan bahasa besar pengaruhnya terhadap perkembangan kognitif (Hilgard & Bower, 1981).
Menurut Bruner perkembangan kognitif seseorang terjadi melalui tiga tahap yang ditentukan oleh, caranya melihat lingkungan. Tahap pertama adalah tahap enaktif, dimana individu melakukan aktivitas-aktivitas dalam usahanya memahami lingkungan. Tahap kedua adalah tahap ikonik dimana ia melihat dunia melalui gambar-gambar dan visualisasi verbal. Tahap terakhir adalah tahap simbolik, dimana ia mempunyai gagasan-gagasan abstrak yang banyak dipengaruhi bahasa dan logika.
Penerapan teori Bruner ini di dunia pendidikan disebut kurikulum spiral, di mana suatu subjek diberikan mulai dari sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi dengan menyajikan materi yang sama tetapi tingkat kesukarannya berbeda. Bruner percaya bahwa anak-anak lebih dimotivasikan oleh masalah yang menarik yang tidak mampu diselesaikan oleh mereka dengan mudah seandainya tidak menguasai isi kandungan mata pelajaran dan kemahiran tertentu (www.geocities.com/pluto_stewart/artikel_ilmiah_1.htm).
Gage & Berliner (1979) menyimpulkan beberapa prinsip Bruner, yaitu :
a) Makin tinggi tingkat perkembangan intelektual, makin meningkat pula ketidaktergantungan individu terhadap stimulus dan diberikan.
b) Pertumbuhan seseorang tergantung pada perkembangan kemampuan internal untuk menyimpan dan memproses informasi. Data yang diterima orang dari luar perlu diolah secara mental.
c) Perkembangan intelektual meliputi peningkatan kemampuan untuk mengutarakan pendapat dan gagasan melalui simbol.
d) Untuk mengembangkan kognitif seseorang diperlukan interaksi yang sistematik antara pengajar dan yang diajar.
e) Perkembangan kognitif meningkatkan kemampuan seseorang untuk memikirkan beberapa alternatif secara serentak, memberikan perhatian kepada beberapa stimuli dan situasi sekaligus, serta melakukan kegiatan-kegiatan.
3. Teori Belajar Bermakna Ausubel
Belajar seharusnya merupakan apa yang disebut asimiliasi bermakna. Materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungan dengan pengetahuan yang telah dipunyai sebelumnya. Untuk itu diperlukan dua persyarata yaitu : (a) materi yang secara potensial bermakna, dan dipilih serta diatur oleh dosen dan harus sesuai dengan tingkat perkembangan serta pengalaman masa lalu mahasiswa, dan (b) suatu situasi belajar yang bermakna. Advance Organizers ini merupakan kerangka (Entiwistle, 1981) dalam bentuk dan abstraksi atau ringkasan atau konsep-konsep dasar dari apa yang dipelajari dan hubungannya dengan apa yang telah ada didalam struktur kognitif mahasiswa.
Dari dalam proses belajar mengajar dosen dapat menerapkan prisip-prinsip teori belajar bermakna dari Ausubel melalui langkah-langkah sebagai berikut :
a) Mengukur kesiapan mahasiswa (minat, kemampuan, struktur kognitif) melalui tes awal, interview, review, pertanyaan dan lain-lain teknik.
b) Memilih materi dan mengaturnya dalam bentuk penyajian konsep kunci-kunci, mulai dengan contoh-contoh konkrit, kontraversial atau yang sifatnya aneh/tidak biasa.
c) Mengidentifikasi prinsip-prinsip yang harus dikuasai dari materi baru.
d) Menyajikan suatu pandangan secara menyeluruh tentang apa yang harus dipelajari.
e) Memakai advance organizers.
f) Mengejar mahasiswa memahami konsep-konsep dan prinsip-prinsip yang ada, dengan memberikan fokus pada hubungan-hubungan yang ada.
Disini ternyata tampak perbedaan antara teori Bruner dengan teori Ausubel yaitu Bruner lebih menekankan adanya penemuan (discovery), sedang Ausubel lebih menekankan pada persepsi, yaitu adanya materi yang disajikan dan dapat diinternalisasi oleh mahasiswa (Reilley & Lewis, 1983).
Disampaing itu, terdapat pula perbedaan antara teori behaviorisme dan kognitivisme, yaitu :
a) Proses belajar menurut berhaviorisme adalah suatu mekanisme yang periferik dan terletak jauh dari otak, sedangkan menurut kognitivisme adalah proses terjadi secara internal dalam otak dan meliputi ingatan dan pikiran.
b) Hasil belajar pada behaviorisme merupakan suatu kebiasaan dan ditekankan pada adanya respon yang lancar, teori kognitivisme menganggap hasil belajar sebagai suatau kognitif dengan menakankan pada pengetahuan faktual.
c) Menurut behaviorisme belajar adalah proses trial and error dan adanya unsur-unsur yang sama antara masalah yang sekarang dihadapi dengan apa yang pernah dijumpai sebelumnya. Kognitivisme menekankan adanya pemahaman tentang yang dihadapi sekarang dengan dengan yang telah dijumpai sebelumnya. Masalah disini harus berhubungan dengan apa yang pernah dipecahkan sebelumnya.

C. Teori Belajar Berdasarkan Psikologi Sosial
Di dalam proses belajar mengajar sekarang banyak dipakai prinsip-prinsip teori psikologi lain, yaitu teori kepribadian dan psikologi sosial (Hartley & Davies, 1978).
Menurut teori ini proses belajar jarang sekali merupakan proses yang terjadi dalam keadaan menyendiri, tetapi melalui interaksi-interaksi. Interaksi tersebut dapat :
1. Searah, yaitu jika adanya stimulasi dari luar menyebabkan timbulnya respons.
2. Dua arah, yaitu individu yang belajar dengan lingkungannya, atau sebaliknya, interaksi reciprocal yaitu apabila beberapa faktor yang mempunyai saling ketergantungan, seperti faktor-faktor pribadi, dan faktor-faktor lingkungan saling berinteraksi dan menyebabkan adanya perubahan tingkah laku (Bigge, 1982).

D. Teori Belajar Gagne
Gagne berpendapat bahwa di dalam proses belajar terdapat dua fenomena, yaitu ketrampilan intelektual yang meningkat sejalan dengan meningkatnya umur serta latihan yang diperolah individu, dan belajar akan lebih cepat apabila strategi kognitif dapat dipakai dalam memecahkan masalah secara lebih efisien.
Gagne mempunyai hierarki pembelajaran. Antaranya ialah pembelajaran melalui isyarat, pembelajaran timbal balik rangsangan, pembelajaran melalui urutan, pembelajaran melalui pembedaan dan sebagainya. Menurut Gagne, peringkat yang tertinggi dalam pembelajaran ialah penyelesaian masalah. Pada peringkat ini, pelajar menggunakan konsep dan prinsip-prinsip matematik yang telah dipelajari untuk menyelesaikan masalah yang belum pernah dialami (www.geocities.com/pluto_stewart/artikel_ilmiah_1.htm).
Gagne (1985) menyebutkan adanya lima macam hasil belajar, yaitu :
1. Ketrampilan intelektual/pengetahuan prosedural yang menckup belajar diskriminasi, konsep, prinsip dan pemecahan masalah, yang kesemuanya diperoleh melalui materi yang disajikan di sekolah.
2. Strategi kognitif, yaitu kemampuan untuk memecahkan masalah-masalah baru dengan jalan mengatur proses internal masing-masing individu dalam memperhatikan, belajar, mengingat dan berpikir.
3. Informasi verbal, yaitu kemampuan untuk mendiskripsikan sesuatu dengan kata-kata dengan jalan mengatur informasi-informasi yang relevan.
4. Ketrampilan motorik, yaitu kemampuan untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan gerakan-gerakan yang berhubungan dengan otot.
5. Sikap, yaitu suatu kemampuan internal yang mempengaruhi tingkahlaku seseorang, dan didasari oleh emosi, kepercayaan-kepercayaan serta faktor intelektual.

E. Teori Instruksional
Teori instruksional tidak menjelaskan bagaimana suatu proses belajar terjadi, tetapi lebih merupakan penerapan prinsip-prinsip teori belajar, teori tingkah laku dan prinsip-prinsip pengajar dalam usaha mencapai tujuan-tujuan belajar.
Tekanan utama teori instruksional adalah pada prosedur-prosedur yang telah terbukti berhasil serta konsisten dengan konsep-konsep sosial, masyarakat, dan pendidikan. Tema utama teori instruksional ialah bahwa (Gagne, 1985) :
1. Belajar merupakan suatu kumpulan proses yang bersifat individual, yang merubah stimuli yang datang dari lingkungan seseorang kedalam sejumlah informasi yang selnjutnya dapat menyebabkan adanya hasil belajar dalam bentuk ingatan jangka panjang. Hasil belajar ini memberikan kemampuan kepadanya untuk melakukan berbagai penampilan.
2. Kemampuan yang merupakan hasil belajar dapat dikategorikan sebagai bersifat praktis, dan teoritis.
3. Kejadian-kejadian di dalam pengajaran yang mempengaruhi proses belajar dapat dikelompokkan ke dalam kategori-ketegori umum, tanpa memperhatikan hasil belajar yang diharapkan. Namun untuk membentuk setiap hasil belajar diperlukan adanya kejadian-kejadian khusus.
Berdasarkan teori-teori psikologi dan teori belajar yang mendasarinya maka teori instruksional dapat dibagi dalam lima kelompok, yaitu (Snelbecker, 1974) :
1. Pendekatan Modifiksi Tingkah Laku.
Teori instruksional ini didasari atas pendekatan modifikasi tingkahlaku, terutama dari Skinner, yang berpendapat bahwa apabila binatang saja dapat diajar untuk melakukan tugas-tugas yang sifatnya kompleks, maka orangpun akan dapat memanfaatkan prinsip-prinsip modifikasi tingkahlaku yang diterapkan.
2. Teori Instruksional Konstruksi Kognitif
Menurut Bruner teori instruksional yang baik adalah pengalaman belajar melalui penemuan (discovery). Serta untuk mengajar sesuatu tidak perlu menunggu sehingga kanak-kanak mancapai tahap perkembangan tertentu. Aspek pentingnya ialah bahan pengajaran harus disediakan dengan baik. Dengan lain perkataan perkembangan kognitif seseorang dapat ditingkatkan dengan cara mengatur bahan yang akan dipelajari dan menyajikannya sesuai dengan tingkat perkembangannya. Penerapan teori Bruner yang terkenal dalam dunia pendidikan adalah kurikulum spiral di mana bahan pelajaran yang sama dapat diberikan mulai dari tahap rendah sehingga ke tahap menengah, disesuaikan dengan tingkat perkembangan kognitif mereka. Cara belajar yang terbaik menurut Bruner ini adalah dengan memahami konsep, makna dan hubungan melalui proses intuitif dan seterusnya menghasilkan suatu kesimpulan (www.geocities.com/pluto_stewart/artikel_ilmiah_1.htm). Teori ini mencakup empat prinsip utama. Pertama, bahwa untuk memungkinkan adanya proses belajar diperlukan motivasi dari pihak mahasiswa. Kedua, perhatikan perlu diberikan kepada pengaturan atau struktur bahan yang akan dipelajari. Ketiga, pengalaman-pengalaman belajar perlu diurutkan dengan baik, dengan memperhatikan jenjang perkembangan mahasiswa. Keempat, ia juga menyatakan perlu adanya pujian atau hukuman.
3. Teori Instruksional Berdasarkan Prinsip-Prinsip Belajar
Beberapa orang berpendapat bahwa prinsip-prinsip teori instruksional dapat di formulasikan dengan lebih baik diterjemahkan dari hasil-hasil penelitian tentang belajar dan dapat diterapkan untuk pendidikan sehari-hari di dalam praktek.
Bugelski seperti dikutip oleh Snelbecker mengidentifikasi beberapa puluh prinsip yang dapat digunakan bagi para pendidik. Informasi tersebut kemudian disingkat menjadi empat prinsip dasar, yaitu :
a) Untuk belajar mahasiswa harus mempunyai pehatian dan responsif terhadap materi yang dipelajari.
b) Semua proses belajar memerlukan waktu.
c) Di dalam diri seseorang yang sedang belajar selalu terdapat suatu alat pengatur internal yang dapat mengontrol motivasinya serta menetukan sampai sejauh mana dan dalam bentuk apa seseorang akan bertindak dalam suatau situasi tertentu.
d) Pengetahuan tentang hasil yang diperoleh di dalam proses belajar merupakan faktor penting yang berfungsi sebagai pengontrol.
4. Teori Instruksional Berdasarkan Analisis Tugas
Dalam teori ini dianjurkan agar dosen mengadakan analisis tugas (task analysis) secara sitematik menganai tugas-tugas yang harus dilakuka mahasiswa di dalam latihan atau situasi pendidikan, yang kemudian disusun secara hirarkis atau parallel tergantung dari urutan tugas-tugas dalam usaha untuk mencapai tujuan.
5. Teori Instruksional Berdasarkan Psikologi Humanistik
Teori instruksional ini didasarkan lebih pada teori kepribadian dan psikoterapi daripada suatu teori belajar. Pada ahli dibidang ini berpendapat bahwa pengalaman emosional dan karekterisk khusus seseorang perlu diperhatikan di dalam penyusunan teori instruksional. Di samping itu perlu diperhatikan pula aktualisasi diri, pemahaman diri, serta realisasi diri orang yang belajar.

DAFTAR PUSTAKA


Soekamto, Toeti. dkk. 1993. Prinsip Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Tim MDK IKIP Semarang. 1990. Psikologi Belajar. Semarang: IKIP Semarang Press.

Winatapura, Udin Saripudin. dkk.1997. Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: Dirjen Dikti Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

_______. 2007. Artikel Ilmiah. http://geocities.com. Diakses tanggal 1 Oktober 2007.

_______. 2007. Teori dan Strategi Pengajaran. http://Saungwali.wordpress.com. Diakses tanggal 1 Oktober 2007.
STRATEGI PEMBELAJARAN INKUIRI

A. PENGERTIAN
Istilah Discovery (penemuan) sering dipertukarkan pemakaiannya dengan Inquiry (penyelidikan), Sund (1975) berpendapat bahwa Discovery adalah proses mental dimana siswa mengasimilasikan suatu konsep atau suatu prinsip. Sedangkan Inquiry adalah perluasan proses Discovery yang digunakan lebih mendalam.(Suryo Subroto, 2002:193)
Ada berbagai rumusan tentang pengajaran berdasarkan inkuiri, antara yang satu dengan yang lainnya berbeda secara gradual. Diantara rumusan itu adalah: “Diskover terjadi bila individu terlibat, terutama dalam penggunaan proses-proses mentalnya untuk menemukan beberapa konsep dan prinsip”. Rumusan ini menggambarkan, bahwa diskover dilakukan melalui proses mental, yakni observasi, klasifikasi, pengukuran, prediksi, dan penentuan. Proses-proses tersebut disebut Discovery Cognitive Process. Sedangkan discovery itu sendiri adalah the mental process of assimilating concept and priciples in the mind. Pengajaran inkuiri dibentuk atas dasar diskoveri, sebab seorang siswa harus menggunakan kemampuannya berdiskoveri dan kemampuan lainnya.
Rumusan lainnya menyatakan, “Pengajaran berdasarkan inkuiri adalah suatu strategi yang berpusat pada siswa dimana kelompok siswa inquiry kedalam suatu isu atau mencari jawaban-jawaban terhadap isi pertanyaan melalui suatu prosedur yang digariskan secara jelas dan struktural kelompok.
(Oemar Hamalik, 2005: 219-220).
Strategi pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan pada proses berpikir secara kritis da analitis untuk mencari dan menemukan sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan. Strategi pembelajaran ini sering juga dinamakan strategi heuristic, yang berasal dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti saya menemukan.
(Wina Sanjaya, 2007: 194)

B. CIRI-CIRI PEMBELAJARAN INKUIRI
Ada beberapa hal yang menjadi ciri utama strategi pembelajaran inkuiri, antara lain:
1. Strategi inkuiri menekankan kepada aktivitas siswa secara maksimal untuk mencari dan menemukan.
2. Seluruh aktivitas yang dilakukan siswa diarahakan untuk mencari dan menemukan jawaban sendiri dari sesuatu yang dipertanyakan, sehingga diharapakan dapat menumbuhkan sikap percaya diri.
3. Tujuan dari penggunaan strategi pembelajaran inkuiri adalah mengembangkan kemampuan berpikir secara sistematis, logis dan kritis atau mengembangkan kemampuan intelektual sebagai bagian dari proses mental.
(Wina Sanjaya, 2007: 194-195)

C. PRINSIP-PRINSIP PENGGUNAAN PEMBELAJARAN INKUIRI
Pembelajaran inkuiri merupakan strategi pembelajaran yang menekankan kepada pengembangan intelektual anak. Perkembangan mental (intelektual) itu menurut Piaget dipengaruhi oleh 4 faktor, yaitu Maturattion, Physical Experience, Social Experience dan Equilibration.
1. Maturattion atau kematangan adalah proses perubahan fisiologis dan anatomis, yaitu proses pertumbuhan fisik, yang meliputi pertumbuhan tubuh, pertumbuhan otak, dan pertumbuhan system saraf.
2. Physical Experience adalah tindakan-tindakan fisik yang dilakukan individu terhadap benda-benda yang ada dilingkungan sekitarnya.
3. Social Experience adalah aktivitas dalam berhubungan dengan orang lain.
4. Equilibiration adalah proeses penyesuaian antara pengetahuan yang sudah ada dengan pengetahuan yang baru ditemukan.




Atas dasar penjelasan diatas, maka dalam penggunaan strategi pembelajaran inkuiri terdapat berberapa prinsip yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Berorientasi pada Pengembangan Intelektual
Tujuan utama dari strategi inkuiri adalah pengembangan kemampuan berpikir. Dengan demikian, strategi pembelajaran ini selain berorientasi kepada hasil belajar juga berorientasi pada proses belajar.
2. Prinsip Interaksi
Proses pembelajaran pada dasarnya adalah proses interaksi, baik interaksi antar siswa maupun interaksi siswa dengan guru, bahkan interaksi antara siswa dengan lingkungan.
3. Prinsip Bertanya
Peran guru yang harus dilakukan dalam menggunakan strategi pembelajaran inkuiri adalah guru sebagai penanya. Sebab kemampuan siswa untuk menjawab setiap pertanyaan pada dasarnya sudah merupakan sebagian dari proses berpikir.
4. Prinsip Belajar untuk Berpikir
Belajar bukan hanya mengingat sejumlah fakta, akan tetapi belajar adalah proses berpikir (Learning how to think), yakni proses mengembangkan potensi seluruh otak.
5. Prinsip Keterbukaan
Belajar adalah suatu proses mencoba berbagai kemungkinan. Segala sesuatu mungkin saja terjadi. Oleh sebab itu siswa perlu di berikan kebebasan untuk mencoba sesuai dengan perkembangan kemampuan logika dan nalarnya.
(Wina Sanjaya, 2007: 196-199)





D. LANGKAH PELAKSANAAN STRATEGI PEMBELAJARAN INKUIRI
Tabel. 1 Sintak Metode Pembelajaran Inkuiri
FASE KEGIATAN
1. Orientasi masalah  Menjelaskan topik, tujuan dan hasil belajar yang diharapkan dapat dicapai oleh siswa.
 Menjelaskan pokok-pokok kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa untuk mencapai tujuan.
 Menjelaskan pentingnya topik dan kegiatan belajar
2. Merumuskan Masalah  Masalah hendaknya dirumuskan sendiri oleh siswa.
 Masalah yang dikaji adalah masalah yang mengandung teka-teki yang jawabannya pasti.
 Konsep-konsep dalam masalah adalah konsep-konsep yang sudah diketahui terlebih dahulu oleh siswa.
3. Merumuskan Hipotesis  Mengajukan berbagai pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk dapat merumuskan jawaban sementara atau dapat merumuskan berbagai perkiraan kemungkinan jawaban dari suatu permasalahan yang dikaji.
4. Mengumpulkan data  Mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat mendorong siswa untuk dapat berpikir mencari informasi yang dibutuhkan.
5. Menguji Hipotesis  Mencari tingkat keyakinan siswa atas jawaban yang diberikan
6. Merumuskan Kesimpulan  Menunjukan data mana yang relevan

(Wina Sanjaya, 2007: 200-203)
E. STRATEGI PELAKSANAAN PEMBELAJARAN INKUIRI DALAM KELAS
Strategi pelaksanaan pembelajaran inkuri dalam kelas adalah Discovery-Oriented Inquiry dan Policy-Based Inquiry.

1. Inkuiri Berorientasi Diskoveri (Discovery-Oriented Inquiry)
Inkuiri berorientasi menunjuk pada situasi-situasi akademik dimana kelompok-kelompok kecil siswa (umumnya antara 4 sampai 5 anggota) berupaya menemukan jawaban-jawaban atas topik-topik inkuiri. Dalam situasi tersebut para siswa dapat menemukan konsep atau rincian infor,asi. Model ini dapat dilaksanakan kepada seluruh kelas sebagai bagian dari kegiatan-kegiatan inkuiri, yang disebut Social Inquiry.
Asumsi-asumsi yang mendasari model inkuiri ini ialah:
(1) Ketrampilan berpikir kritis dan berpikir deduktif yang diperlukan berkaitan dengan pengumpulan data yang bertalian dengan kelompok hipotesis.
(2) Keuntungan bagi siswa dari pengalaman kelompok dimana mereka berkomunikasi, berbagi tanggung jawab, dan bersama-sama mencari pengetahuan.
(3) Kegiatan-kegiatan belajar disajikan dengan semangat berbagai inkuiri dan diskoveri menambah motivasi dan memajukan partisipasi.




Penggunaan Strategi Inkuiri Berorientasi Diskoveri dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Mengidentifikasi dan merumuskan situasi yang menjadi focus inkuiri secara jelas.
(2) Mengajukuan suatu pertanyaan tentang fakta.
(3) Memformulasikan hipotesis atau beberapa hipotesis untuk menjawab pertanyaan pada langkah 2.
(4) Mengumpulkan informasi yang relevan dengan hipótesis dan menyatakan jawaban sebagai proporsi tentang fakta.

2. Inkuiri Berdasarkan Kebijakan (Policy-Based Inquiry)
Inkuiri berdasarkan kebijakan adalah suatu bentuk inkuiri yang lebih proaktif yang berkenaan dengan adnya proposisi-proposisi kebijakan, yakni pertanyaan ”Apa yang harus”, yang berorientasi pada tindakan, hal mana bertentangan dengan proposisi fakta pernyataan tentang ”Apa”.
Pendekatan ini dilandasi oleh asumsi bahwa:
(1) Tujuan utama pendidikan harus menjadi ulangan refflektif terhadap nilai-nilai dan isu-isu penting dewasa ini.
(2) Ilmu sosial harus dipelajari dalam pelajaran tentang upaya untuk mengembangkan solusi-solusi masalah-masalah yang berarti.
(3) Situasi-situasi inkuiri memungkinkan siswa mengembangkan kesadaran dan memfasilitasi tentang peran dan fungsi kelompok serta teknik-teknik pembuatan keputusan
Model inkuiri ini dilaksanakan oleh kelompok dengan langkah-langkah sebagai berikut:
(1) Membentuk kelompok-kelompok inkuiri. Masing-masing kelompok dibentuk berdasarkan rentang intelektual dan ketrampilan-ketrampilan sosial.
(2) Memperkenalkan topik-topik inkuiri kepada sesama kelompok. Tiap kelompok diharapkan memahami dan berminat mempelajarinya.
(3) Membentuk proposisi tentang kebijakan yang bertalian dengan topik, yakni pertanyaan apa yang harus dikerjakan.
(4) Merumuskan semua istilah yang berkembang dalam proposisi kebijakan.
(5) Menyelidik validitas logis dan konsistensi internal pada proposisi dan unsur-unsur penunjangnya.
(6) Mengumpulkan evidensi (bukti) untuk menunjang unsur-unsur/isi proposisi.
(7) Menganalisis solusi-solusi yang diusulkan dan mencari posisi kelompok.
(8) Menilai proses kelompok.
(Oemar Hamalik, 2005: 220-224).
BELAJAR DAN PEMBELAJARAN
MODEL PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK
(PMR)


A. Pendahuluan
Model pembelajaran diartikan sebagai kerangka konseptual yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan suatu kegiatan. Model pembelajaran adalah kerangka konseptual yang melukiskan prosedur untuk mencapai tujuan belajar tertentu, dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran dan para pengajar dalam merencanakan dan melaksanaan aktivitas belajar mengajar.
Sering ditemukan bahwa guru menguasai materi suatu objek dengan baik, tetapi tidak dapat melaksanakan pembelajaran dengan baik. Hal itu terjadi karena kegiatan tersebut tidak didasarkan pada model pembelajaran tertentu sehingga hasil belajar yang diperoleh siswa rendah. Sehubungan dengan hal itu, maka diperlukan berbagai konsep dan teori belajar maka dikembangkan suatu model pembelajaran realistik.
Dalam pembelajaran matematika selama ini, ”dunia nyata” hanya dijadikan tempat mengaplikasikan konsep. Siswa mengalami kesulitan untuk mengaplikasikan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu pembelajaran matematika yang berorientasi pada matematisasi pengalaman sehari-hari (mathematize of everyday experience) dan menerapkan matematika dalam kehidupan sehari-hari adalah Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR).

B. Pengertian PMR
Soedjadi (2001: 2) mengemukakan bahwa pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik pada dasarnya adalah pemanfaatan realita dan lingkungan yang dipahami peserta untuk memperlancar proses pembelajaran matematika sehingga mencapai tujuan pendidikan matematika secara lebih baik dari pada masa yang lalu.
Matematika sebagai aktivitas manusia berarti manusia harus diberikan kesempatan untuk menemukan kembali ide dan konsep matematika dengan bimbingan orang dewasa (Gravemeijer, 1994). Upaya ini dilaksanakan melalui penjelajahan berbagai situasi dan persoalan-persoalan”realistik”. Realistik dalam hal ini dimaksudkan tidak mengacu pada realitas tetapi pada sesuatu yang dapat dibayangkan oleh siswa (slettenhass, 2000).
Berdasarkan uraian masalah di atas, jelaslah bahwa pembelajaran matematika realistik bertolak dari masalah-masalah sesuai dengan pengalaman siswa, siswa aktif, guru berperan sebagai fasilitator, siswa bebas mengeluarkan idenya, siswa bebas mengkonsumsikan ide-idenya satu sama lain. Guru membantu (secara terbatas) siswa membandingkan ide-ide itu dan membimbing mereka untuk mengambil keputusan tentang ide mana yang paling benar, efisien dan mudah dipahami buat mereka.
Dalam kaitannya dengan matematika sebagai kegiatan manusia maka siswa harus diberi kesempatan seluas-luasnya untuk menemukan kembali ide atau konsep matematika secara mandiri sebagai akibat dari pengalaman siswa dalam berinteraksi dengan situasi nyata (realitas). Setelah pembentukan dan menemukan konsep-konsep matematika, siswa menggunakannya untuk menyelesaikan masalah kontekstual selanjutnya sebagai aplikasi untuk memperkuat pemahaman konsep.
Tapi apakah PMR dapat menjadi pilihan yang terbaik saat ini atau sebagai solusi yang tepat untuk “mengatasi” problematika pembelajaran matematika di Indonesia? Untuk mengurai jawaban terhadap pertanyaan tersebut diperlukan berbagai pencermatan dan kajian lebih lanjut, karena PMR di Indonesia jelas akan membawa berbagai dampak yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Dampak itu antara lain akan dirasakan dalam (i) penyusunan buku ajar (buku guru maupun siswa ), (ii) proses pembelajaran dan evaluasinya, (iii) tuntutan terhadap kreativitas guru. (M. Asikin Hidayat, 2001).
Terdapat dua jenis matematisasi yang diformulasikan oleh (Treffers 1991), yaitu matematisasi horisontal dan vertikal. Berdasarkan matematisasi horisontal dan vertikal, pendekatan dalam pendidikan matematika dapat dibedakan menjadi empat jenis yaitu :
1. Mekanistik, merupakan pedekatan sendiri (diawali dari yang sederhana ke yang lebih kompleks).
2. Empirik, merupakan satu pendekatan dimana konsep-konsep matematika tidak diajarkan, dan diharapkan siswa dapat menemukan melalui matematisasi horisontal.
3. Strukturalistik, merupakan pendekatan yang menggunakan sistem formal, misalnya pengajaran penjumlahan cara panjang perlu didahului dengan nilai tempat, sehingga suatu konsep dicapai melalui matematisasi vertikal.
4. Realistik, merupakan suatu pendekatan yang menggunakan masalah realistik sebagai pokok permasalahan.

C. Karakteristik PMR Menurut Pandangan Konstrukstivis
1. Karakteristik PMR
Karakteristik PMR adalah menggunakan konteks ”dunia nyata”, model-model, produksi dan konstruksi siswa, interaktif, dan keterkaitan (intertwinment) (treffers, 1991; Van den Heuvel-Panhuizen, 1998).
a. Menggunakan konteks “dunia nyata”
Dalam PMR, pembelajaran diawali dengan masalah kontekstual (dunia nyata), sehingga memungkinkan mereka menggunakan pengalaman sebelumnya secara langsung dan siswa akan mengembangkan konsep yang lebih komplit. Kemudian, siswa dapat mengaplikasikan konsep-konsep matematika ke bidang baru dari dunia nyata.
b. Menggunakan model-model (matematisasi)
Istilah model berkaitan dengan model situasi dan model matematika yang dikembangkan oleh siswa sendiri (self developed models). Peran self developed models merupakan jembatan bagi siswa dari situasi abstrak atau dari matematika informan ke matematika formal.
c. Menggunakan produksi dan konstruksi (kontribusi siswa )
Streffland (1991) menekankan bahwa dengan pembuatan “produksi bebas” siswa terdorong untuk melakukan refleksi pada bagian yang mereka anggap penting dalam proses belajar. Strategi–strategi informan siswa yang berupa prosedur pemecahan masalah kontekstual merupakan sumber inspirasi dalam mengembangkan pembelajaran lebih lanjut yaitu untuk mengkonstruksi pengetahuan matematika formal.
d. Menggunakan interaktif
Interaksi antarsiswa dengan guru merupakan hal yang mendasar dalam Model Pembelajaran Matematika Realistik (PMR). Secara eksplisit bentuk-bentuk interaksi yang berupa negoisasi, penjelasan, pembenaran, setuju, tidak setuju, pernyataan atau refleksi digunakan untuk mencapai bentuk formal dari bentuk-bentuk informal siswa.
e. Menggunakan keterkaitan (intertwinment)
Dalam PMR pengintegrasian unit-unit matematika adalah esensial. Jika dalam pembelajaran kita mengabaikan keterkaitan dengan bidang lain, maka akan berpengaruh pada pemecahan masalah. Dalam mengaplikasikan matematika, biasanya diperlukan pengetahuan yang lebih kompleks, dan tidak hanya aritmatika, aljabar, atau geometri tetapi juga bidang lain.
2. PMR menurut pandangan kontruktivis
Pembelajaran matematika menurut pandangan kontruktivis adalah memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkonstruksi konsep-konsep atau prinsip-prinsip matematika dengan kemampuan sendiri melalui proses internalisasi.
Menurut Davis (1996), pandangan konstruktivis dalam pembelajaran matematika berorientasi pada :
a) Pengetahuan dibangun dalam pikiran melalui proses asimilasi atau akomodasi.
b) Dalam pengerjaan matematika, setiap langkah siswa dihadapkan kepada apa.
c) Informasi baru harus dikaitkan dengan pengalamannya tentang dunia melalui suatu kerangka logis yang mentransformasikan, mengorganisasikan, dan menginterpretasikan pengalamannya.
d) Pusat pembelajaran adalah bagaimana siswa berpikir, bukan apa yang mereka katakan atau tulis.
Guru dalam hal ini berperan sebagai fasilitator. Ada dua konsep penting dalam teori Vygotsky (Slavin, 1997), yaitu Zone of Proximal Development (ZPD) dan scaffolding.
Zone Proximal Development (ZPD) didefinisikan sebagai kemampuan pemecahan masalah di bawah bimbingan orang dewasa atau melalui kerjasama dengan teman sejawat yang lebih mampu.
Scaffolding maksudnya seorang guru memberikan bantuan kepada siswanya untuk belajar dan memecahkan masalah. Bantuan tersebut dapat berupa petunjuk, dorongan, peringatan, menguraikan masalah ke dalam lankah-langkah pemecahan, memberikan contoh, dan tindakan-tindakan lain yang memungkinkan siswa itu belajar mandiri.
Ada tiga prinsip dalam mendesain pembelajaran matematika realistik menurut Gravemeijer (1994: 90), yaitu sebagai berikut :
• Guided reinvention and progressive mathematizing
Prinsip pertama adalah penemuan kembali secara terbimbing dan matematis secara progresif. Prinsip ini mengacu pada pernyataan tentang konstruktivisme bahwa pengetahuan tidak dapat diajarkan atau ditransfer oleh guru, tetapi hanya dapat dikonstruksi oleh siswa itu sendiri.
Melalui topik-topik yang disajikan harus diberi kesempatan untuk mengalami sendiri proses yang “sama” sebagaimana konsep matematika ditemukan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara : memasukkan sejarah matematika, memberikan ‘contextual problems’ yang mempunyai berbagai solusi, dilanjutkan dengan “mathematizing” produser solusi yang sama, serta perancangan rute belajar sedemikian rupa sehingga siswa menemukan sendiri konsep atau hasil. Situasi yang berisikan fenomena dan dijadikan bahan serta area aplikasi dalam pengajaran matematika haruslah berangkat dari keadaan yang nyata. Dalam hal ini dua macam matematisasi (horisontal dan vertikal) haruslah dijadikan dasar untuk berangkat dari tingkat belajar matematika secara real ke tingkat belajar matematika secara formal. (M. Asikin Hidayat, 2001) .
• Didactical phenomenology
Prinsip kedua adalah fenomena yang bersifat mendidik. Dalam fenomena pembelajaran ini menekankan pentingnya soal kontekstual untuk memperkenalkan topik-topik matematika pada siswa.
Topik-topik ini dipilih dengan dua pertimbangan yaitu :
a. aspek kecocokan dalam pembelajaran
b. kecocokan dampak dalam proses re-invention
• Self developed models
Prinsip yang ketiga adalah pengembangan model sendiri. Siswa mengembangkan model sendiri sewaktu memecahkan masalah-masalah kontekstual.
Self developed models adalah model suatu situasi yang dekat dengan alam siswa. Dengan generalisasi dan formalisasi model tersebut akan berubah menjadi model-of masalah tersebut. Model-of akan bergeser menjadi model-for maasalah yang sejenis. Pada akhirnya akan menjadi pengetahuan dalam formal matematika. (M. Asikin Hidayat, 2001).
D. langkah-langkah Model Pembelajaran
Langkah-langkah di dalam proses pembelajaran matematika dengan pendekatan realistik dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Memahami maasalah kontekstual
Guru memberikan masalah (soal) kontekstual dalam kehidupan sehari-hari dan meminta siaswa untuk memahami masalah tersebut. Pada tahap ini “karakteristik” pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah menggunakan masalah kontekstual yang diangkat sebagai starting point dalam pembelajaran untuk menuju ke matematika formal sampai ke pembentukan konsep.
2. Menjelaskan masalah kontekstual
Jika situasi siswa macet dalam menyelesaikan masalah, maka guru menjelaskan situasi dan kondisi dari soal dengan cara memberikan petunjuk-petunjuk atau berupa saran seperlunya (bersifat terbatas) terhadap bagian-bagian tertentu yang belum dipahami oleh siswa, penjelasan hanya sampai siswa mengerti maksud soal. Pada tahap ini “karakteristik” pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah karakteristik yaitu adanya interaksi antara siswa dengan guru sebagai pembimbing.
3. Menyelesaikan masalah kontekstual
Siswa secara individual menyelesaikan masalah kontekstual dengan caara mereka sendiri. Cara pemecahan dan jawaban masalah berbeda lebih diutamakan. Dengan menggunakan lembaran kerja, siswa mengerjakan soal dalam tingkat kesulitan yang berbeda. Guru memotivasi siswa untuk menyelesaikan masalah dengan cara sendiri berupa pemberian petunjuk atau pertanyaan seperti, bagaimana kamu tahu itu , bagaimana mendapatkannya, mengapa kamu berpikir demikian, dan lain-lain berupa saran.

Pada tahap ini, beberapa dari ‘prinsip’ pembelajaran matematika realistik akan muncul dalam langkah ini misalnya prinsip self developed models. Sedangkan pada ‘karakteristik’ pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah kedua yaitu menggunakan model.
4. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban
Guru menyediakan waktu dan kesempatan kepada siswa untuk membandingkan dan mendiskusikan jawaban secara berkelompok, untuk selanjutnya dibandingkan (memeriksa, memperbaiki) dan didiskusikan di dalam kelas. Sementara di tahap ini sebagai ajang melatih siswa mengeluarkan ide dari kontribusi siswa di dalam berinteraksi antara siswa dengan siswa, siswa dengan guru, dan siswa dengan sarana prasarana untuk mengoptimalkan pembelajaran.
5. Menyimpulkan
Dari hasil diskusi, guru mengarahkan siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur. Pada tahap ini ‘karakteristik’ pembelajaran matematika realistik yang tergolong dalam langkah ini adalah adanya interaksi antara siswa dengan guru sebagai pembimbing.

E. Konsepsi Siswa dalam PMR
Pendekatan matematika realistik mempunyai konsepsi tentang siswa sebagai berikut :
• Siswa memiliki seperangkat konsep alternatif tentang ide-ide matematika yang mempengaruhi belajar selanjutnya.
• Siswa memperoleh pengetahuan baru dengan membentuk pengetahuan itu untuk dirinya sendiri.
• Pembentukan pengetahuan merupakan proses perubahan yang meliputi penambahan, kreasi, modifikasi, penghalusan, penyusunan kembali, dan penolakan.
• Pengetahuan baru yang dibangun oleh siswa untuk dirinya berasal dari seperangkat ragam pengalaman.
• Setiap siswa tanpa memandang ras, budaya, dan jenis kelamin mampu memahami dan mengerjakan matematika.
Titik awal proses belajar dengan pendekatan matematika realistik menekankan pada konsepsi yang sudah dikenal oleh siswa. Setiap siswa mempunyai konsep awal tentang ide-ide matematika. Setelah siswa terlibat secara bermakna dalam proses belajar, maka proses tersebut dapat ditingkatkan ke tingkat yang lebih tinggi. Pada proses pembentukan pengetahuan baru tersebut, siswa bertanggung jawab terhadap proses belajarnya sendiri. (M. Asikin Hidayat, 2001).

F. Kelebihan dan Kekurangan Pembelajaran Matematika Realistik
Menurut pendapat Suwarsono (2001: 5) terdapat beberapa kelebihan dari Pembelajaran Matematika Realistik (PMR) antara lain :
1. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa tentang keterkaitan antara matematika dengan kehidupan sehari-hari (kehidupan dunia nyata) dan kegunaan matematika pada umumnya bagi manusia.
2. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa matematika adalah suatu bidang kajian yang dikontruksi dan dikembangkan sendiri oleh siswa tidak hanya oleh mereka yang disebut pakar dalam bidang mereka.
3. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa cara penyelesaian soal atau masalah tidak harus tunggal, dan tidak harus sama dengan yang lain, asalkan orang itu bersungguh-sungguh dalam mengerjakan soal atau masalah tersebut, kemudian membandingkan cara penyelesaian yang satu dengan yang lain, sehingga penyelesaian paling tepat sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian soal atau masalah tersebut.
4. Penyelesaian paling tepat sesuai dengan tujuan dari proses penyelesaian soal atau masalah tersebut.
5. PMR memberikan pengertian yang jelas dan operasional kepada siswa bahwa dalam mempelajari matematika, proses pembelajaran merupakan sesuatu yang utama, orang harus mempelajari proses itu dan berusaha untuk menemukan sendiri konsep-konsep matematika, dengan bantuan pihak lain yang lebih tahu (misalnya guru).
Sedangkan beberapa kelemahan PMR, menurut pendapat Suwarsono (2000: 8) antara lain:
1. Upaya mengimplementasikan PMR membutuhkan perubahan pandangan yang sangat mendasar mengenai berbagai hal yang tidak mudah dipraktikan, misalnya mengenai siswa, guru, dan peranan soal kontekstual.
2. Pencarian soal-soal kontekstual yang memenuhi syarat-syarat yang dituntut PMR tidak selalu mudah untuk setiap topik matematika yang perlu dipelajari siswa, terlebih karena soal-soal tersebut harus bisa diselesaikan dengan bermacam-macam cara.
3. Upaya mendorong siswa agar bisa menemukan berbagai cara untuk menyelesaikan soal juga merupakan hal yang tidak mudah dilakukan oleh guru.
4. Proses pengembangan kemampuan berpikir siswa, melalui soal-soal kontekstual, proses matematisasi horisontal dan vertikal juga bukan merupakan sesuatu yang sederhana, karena proses dan mekanisme berpikir siswa harus diikuti dengan cermat, agar guru bisa membantu siswa dalam melakukan penemuan kembali konsep-sonsep matematika tertentu.



DAFTAR PUSTAKA

Asikin, M. 2001. Realistics Mathematics Educations (RME): Sebuah harapan baru dalam pembelajaran matematika. Makalah Seminar. Disajikan pada Seminar Nasional RME di UNESA Surabaya, 24 Februari.

Soekamto, Toeti dan Udin Saripudin Winataputra. 1977. Teori Belajar dan Model-model Pembelajaran. Jakarta: Universitas Terbuka

Suharta, I Gusti Putu. 1988. Matematika Realistik. www.fi.nl
MODEL PEMBELAJARAN BERDASARKAN MASALAH

(PROBLEM BASED INSTRUCTION)



1. Pengertian
Model pembelajaran berdasarkan masalah (Problem Based Instruction) adalah modal pembelajaran dengan pendekatan pembelajaran siswa pada masalah autentik (nyata) sehingga siswa dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuh kembangkan keterampilan yang lebih tinggi memandirikan siswa dan meningkatkan kepercayaan diri siswa (Arends, 1997:288).
Model pembelajaran berdasarkan masalah bercirikan penggunaan masalah kehidupan nyata sebagai sesuatu yang harus dipelajari siswa untuk melatih dan meningkatkan keterampilan berfikir kritis dan memecahkan masalah, serta mendapatkan konsep-konsep penting. Pendekatan ini mengutamakan proses belajar, tugas guru harus memfokuskan diri untuk membantu siswa mencapai keterampilan mengarahkan diri. Pembelajaran berdasarkan masalah penggunaannya di dalam pengembangan tingkat berfikir yang lebih tinggi dalam situasi yang berorientasi pada masalah, termasuk pembelajaran bagaimana belajar (Arends, 1997:156).
Pada pembelajaran berdasarkan masalah ini, guru berperan sebagai penyaji masalah, penanya, mengadakan dialog, membantu menemukan masalah, dan sebagai pemberi fasilitas yang diperlukan siswa. Selain itu, guru memberikan dukungan dan dorongan dalam upaya meningkatkan kecerdasan dan perkembangan intelektual siswa. Pembelajaran berdasarkan masalah hanya dapat terjadi jika guru dapat menciptakan lingkungan kelas yang terbuka dan membimbing pertukaran pendapat (Arends,1997). Pembelajaran berdasarkan masalah juga banyak menumbuh kembangkan aktivitas belajar, baik secara individu maupun secara kelompok.
Dalam pembelajaran berdasarkan masalah memerlukan adanya beberapa kemampuan, diantaranya yaitu:
a. Kemampuan memecahkan masalah
Kemampuan memecahkan masalah hendaknya diberikan, dilatihkan dan dibiasakan pada siswa sedini mungkin (Branco, 1980:3). Kemampuan memecahkan masalah juga sangat penting bagi siswa yang akan mendalami bidang studi tertentu maupun untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari (Rusefendi, 1991:291).
b. Kemampuan berfikir
Menurut Peter Reason (1981), berfikir (thinking) adalah proses mental seseorang yang lebih tinggi dari sekadar mengingat (remembering) dan memahami (comprehending). Menurut Reason mengingat dan memahami lebih bersifat pasif daripada kegiatan berfikir (thinking). Mengingat pada dasarnya hanya melibatkan usaha penyimpanan sesuatu yang telah dialami untuk suatu saat dikeluarkan kembali atas permintaan; sedangkan memahami memerlukan pemerolehan apa yang didengar dan dibaca serta melihat keterkaitan antar-aspek dalam memori. Berfikir adalah istilah yang lebih dari keduanya. Berfikir menyebabkan seseorang harus bergerak hingga di luar informasi yang didengarnya, misalkan kemampuan berfikir seseorang untuk menemukan solusi baru dari suatu persoalan yang dihadapi.
Kemampuan berfikir memerlukan kemampuan mengingat dan memahami, oleh sebab itu kemampuan mengingat adalah bagian terpenting dalam mengembangkan kemampuan berfikir. Artinya, belum tentu seseorang yang memiliki kemampuan mengingat dan memahami memiliki kemampuan juga dalam berfikir. Sebaliknya, kemampuan berfikir seseorang sudah pasti diikuti oleh kemampuan mengingat dan memahami. Hal ini seperti yang dikemukakan Peter Reason, bahwa berfikir tidak mungkin terjadi tanpa adanya memori. Bila seseorang kurang memiliki daya ingat (working memory), maka orang tersebut tidak mungkin sanggup menyimpan masalah dan informasi yang cukup lama. Jika seseorang kurang memiliki daya ingat jangka panjang (long term memory), maka orang tersebut dipastikan tidak akan memiliki catatan masa lalu yang dapat digunakan dalam untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi pada masa sekarang. Dengan demikian, berfikir sebagai kegiatan yang melibatkan proses mental memerlukan kemampuan mengingat dan memahami. Sebaliknya untuk dapat mengingat dan memahami diperlukan proses mental yang disebut berfikir.
Kemampuan berfikir siswa memerlukan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, terutama orang tua, teman sejawat dan guru. Dan untuk memberikan keterampilan berfikir, siswa memerlukan sarana (Siavin, 1994), dan sarana yang memadai untuk melatih kemampuan berfikir siswa adalah lembaga pendidikan (Dowel, 1994).

2. Ciri-ciri Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
a. Pengajuan Masalah atau Pertanyaan
Pengaturan pembelajaran berdasarkan masalah berkisar pada masalah atau pertanyaan yang diajukan guru dan dianggap penting bagi siswa maupun masyarakat. Menurut Arends (dalam Ratumanan, 200:126), pertanyaan dan masalah yang diajukan itu haruslah memenuhi kriteria sebagai berikut:
1. Autentik. Yaitu masalah harus sesuai dengan pengalaman dunia nyata siswa dari pada dengan prinsip-prinsip disiplin akademik tertentu.
2. Jelas. Yaitu masalah dirumuskan dengan jelas, dalam arti tidak menimbulkan masalah baru bagi siswa yang pada akhirnya menyulitkan siswa menyelesaikan masalah tersebut.
3. Bermakna. Yaitu masalah yang diberikan hendaknya bermakna (meaningful) bagi siswa. Selain itu, masalah disusun dan dibuat sesuai dengan tingkat perkembangan siswa.
4. Luas dan Sesuai dengan Tujuan Pembelajaran. Yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan hendaknya bersifat luas, artinya masalah tersebut mencakup seluruh materi pelajaran yang akan diajarkan sesuai dengan waktu, ruang, dan sumber yang tersedia. Selain itu, masalah yang telah disusun tersebut harus didasarkan pada tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.
5. Bermanfaat. Yaitu masalah yang disusun dan dirumuskan haruslah bermanfaat, baik bagi siswa sebagai pemecah masalah maupun guru sebagai pembuat masalah. Masalah yang bermanfaat adalah masalah yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir dan memecahkan masalah siswa, serta membangkitkan motivasi belajar siswa.
b. Keterkaitannya dengan Berbagai Disiplin Ilmu
Masalah yang diajukan dalam pembelajaran berdasarkan masalah hendaknya mengaitkan atau melibatkan berbagai disiplin ilmu.
c. Penyelidikan yang Autentik
Penyelidikan yang diperlukan dalam pembelajaran berdasarkan masalah bersifat autentik. Selain itu, penyelidikan diperlukan untuk mencari penyelesaian masalah yang bersifat nyata. Siswa menganalisis dan merumuskan masalah, mengembangkan dan meramalkan hipotesis, mengumpulkan dan menganalisis informasi, melaksanakan eksperimen, membuat kesimpulan, dan menggambarkan hasil akhir.
d. Menghasilkan dan Memamerkan Hasil/Karya
Pada pembelajaran berdasarkan masalah, siswa bertugas menyusun hasil penelitiannya dalam bentuk karya (karya tulis atau penyelesaian) dan memamerkan hasil karyanya. Artinya, hasil penyelesaian masalah siswa ditampilkan atau dibuatkan laporannya.
e. Kolaborasi
Pada pembelajaran berdasarkan masalah, tugas-tugas belajar berupa masalah yang harus diselesaikan bersama-sama antar siswa dengan siswa, baik dalam kelompok kecil maupun kelompok besar, dan bersama-sama antar siswa dengan guru.
Dari ciri-ciri di atas terlihat bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah memberi penekanan pada masalah yang autentik dan berkaitan dengan berbagai disiplin ilmu. Berdasarkan pada masalah tersebut siswa melakukan aktivitas pemecahan masalah/penyelidikan untuk memecahkan masalah tersebut. melalui aktivitas pemecahan masalah/penyelidikan diharapkan siswa dapat menemukan keterampilan-keterampilan atau konsep-konsep yang lebih sederhana. Dari uraian ini jelas bahwa model pembelajaran berdasarkan masalah menggunakan pendekatan top-down yang merupakan salah satu ciri dari pembelajaran berbasis konstruktivisme.

3. Langkah-langkah Model Pembelajaran Masalah
Banyak ahli yang menjelaskan bentuk penerapan metode pembelajaran berdasarkan masalah. John Dewey seorang ahli pendidikan berkebangsaan Amerika menjelaskan 6 langkah model pembelajaran berdasarkan masalah yang kemudian dia namakan metode pemecahan masalah (problem solving), yaitu:
1. Merumuskan masalah, yaitu langkah siswa menentukan masalah yang akan dipecahkan.
2. Menganalisis masalah, yaitu langkah siswa meninjau masalah secara kritis dari berbagai sudut pandang.
3. Merumuskan hipotesis, yaitu langkah siswa merumuskan berbagai kemungkinan pemecahan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya.
4. Mengumpulkan data, yaitu langkah siswa mencari dan menggambarkan informasi yang diperlukan untuk pemecahan masalah.
5. Pengujian hipotesis, yaitu langkah siswa mengambil atau merumuskan kesimpulan sesuai dengan penerimaan dan penolakan hipotesis yang diajukan.
6. Merumuskan rekomendasi pemecahan masalah, yaitu langkah siswa menggambarkan rekomendasi yang dapat dilakukan sesuai rumusan hasil pengujian hipotesis dan rumusan kesimpulan.
David Johnson & Johnson mengemukakan ada 5 langkah metode pembelajaran berdasarkan masalah melalui kegiatan kelompok.
1. Mendefinisikan masalah, yaitu merumuskan masalah dari peristiwa tertentu yang mengandung isu konflik, hingga siswa menjadi jelas tentang masalah apa yang akan dikaji. Dalam kegiatan ini guru bisa meminta pendapat dan penjelasan siswa tentang isu-isu hangat yang menarik untuk dipecahkan.
2. Mendiagnosis masalah, yaitu menentukan sebab-sebab terjadinya masalah, serta menganalisis berbagai faktor baik faktor yang bisa menghambat maupun yang dapat mendukung dalam penyelesaian masalah. Kegiatan ini bisa dilakukan dalam diskusi kelompok kecil, hingga pada akhirnya siswa dapat mengurutkan tindakan-tindakan prioritas yang dapat dilakukan sesuai dengan jenis penghambat yang diperkirakan.
3. Merumuskan alternatif strategi, yaitu menguji setiap tindakan yang telah dirumuskan melalui diskusi kelas. Pada tahapan ini setiap siswa didorong untuk berfikir mengemukakan pendapat dan argumentasi tentang kemungkinan setiap tindakan yang dapat dilakukan.
4. Menentukan dan menerapkan strategi pilihan, yaitu pengambilan keputusan tentang strategi mana yang dapat dilakukan.
5. Melakukan evaluasi, baik evaluasi proses maupun evaluasi hasil. Evaluasi proses adalah evaluasi terhadap seluruh kegiatan pelaksanaan kegiatan; sedangkan evaluasi hasil adalah evaluasi terhadap akibat dari penerapan strategi yang diterapkan.
Menurut Arends (1997:161) bahwa, pembelajaran berdasarkan masalah terdiri dari 5 fase atau langkah utama yang diawali dengan orientasi guru dan siswa pada masalah serta diakhiri dengan penyajian dan analisa kerja siswa. Kelima fase tersebut disajikan dalam tabel berikut:

Tabel: 02. Sintaks Model Pembelajaan Berdasarkan Masalah
Fase Kegiatan
1. Orientasi siswa pada masalah • Menjelaskan tujuan pembelajaran, hal-hal yang anggap perlu, dan memotivasi siswa dalam melakukan kegiatan pemecahan masalah
• Mengajukan masalah
• Memotivasi siswa terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih
2. Mengorganisasi siswa dalam belajar • Membagi siswa ke dalam kelompok
• Membantu siswa dalam mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas-tugas yang berkaitan dengan masalah.
3. Membimbing penyelidikan individual maupun kelompok • Mendorong siswa dalam mengumpulkan informasi yang diperlukan, melaksanakan eksperimen, dan penyelidikan untuk menjelaskan masalah.
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya • Membantu siswa dalam merencanakan dan mempersiapkan karya yang sesuai seperti laporan, video, dan model dan membantu mereka membagi tugas dengan temannya.
5. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah • Membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses yang digunakan.

4. Pelaksanaan Model Pembelajaran Berdasarkan Masalah
Pelaksanaan model pembelajaran berdasarkan masalah dalam kegiatan belajar mengajar didasarkan pada kelima fase tersebut. adapun rincian kegiatan pada setiap fase adalah sebagai berikut;
Fase 1 : Orientasi siswa pada masalah
Pada tahap ini guru menyampaikan tujuan pembelajaran, serta menjelaskan model pembelajaran yang akan dilaksanakan. Pada kesempatan ini guru juga memotivasi siswa. Setelah menyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dilaksanakan dan meotivasi, guru mengajukan masalah dan meminta siswa mengemukakan ide dan teori yang dapat digunakan dalam memecahkan masalah tersebut.
Fase 2 : Mengorganisasikan siswa untuk belajar
Pada kegiatan ini siswa dikelompokkan dalam kelompok-kelompok kecil berdasarkan kemampuan. Kriteria kemampuan dilihat dari hasil pretest. Sehingga satu kelompok terdiri dari siswa yang memiliki kemampuan tinggi, sedang, dan kurang mampu. Hal ini dilakukan dengan tujuan dalam menganalisis, masalah yang akan diberikan setiap kelompok mempunyai penyelesaian yang dapat diandalkan. Penyelesaian awal yang didapat akan menarik untuk didiskusikan dan dipertahankan kebenarannya. Selain itu pertimbangkan kemudahan dalam mengikuti prosedur PBI dan memberikan motivasi kepada siswa yang kurang mampu untuk mengejar ketinggalan selama ini. Secara tidak langsung pembagian kelompok ini akan memberikan bimbingan kepada siswa yang kurang mampu dalam menganalisa suatu masalah.
Fase 3 : Membantu siswa memecahkan masalah
Dalam hal ini, siswa melakukan penyelidikan/pemecahan masalah. Pada tahap ini guru mendorong siswa mengumpulkan data dan melaksanakan eksperimen sampai mereka benar-benar mengerti dimensi situasi permasalahan. Tujuannya ialah agar siswa dalam mengumpulkan informasi cukup untuk mengembangkan dan menyusun ide-idenya sendiri. Selain itu guru mengajukan permasalahan/pertanyaan yang dapat dipikirkan siswa, dan memberikan berbagai jenis informasi yang diperlukan siswa untuk menemukan penyelesaian awal arena masih harus didiskusikan pada tahap berikutnya.
Fase 4 : Mengembangkan dan menyajikan hasil karya
Pada kegiatan ini guru menyuruh salah seorang anggota kelompok untuk mempresentasikan hasil pemecahan masalah kelompok dan guru membantu jika siswa mengalami kesulitan. Kegiatan ini berguna untuk mengetahui hasil sementara pemahaman dan penguasaan siswa terhadap materi pelajaran yang diberikan.
Fase 5 : Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah
Tahap akhir pembelajaran berdasarkan masalah, guru membantu menganalisis dan mengevaluasi proses berfikir siswa. Sedangkan siswa menyusun kembali hasil pemikiran dan kegiatan yang dilampaui pada setiap tahap pembelajaran. Dan guru membimbing siswa menyimpulkan pembalajaran serta memberikan soal-soal untuk dikerjakan di rumah.

5. Metode Pemecahan Masalah
Masalah adalah suatu situasi (dapat berupa pertanyaan atau issu) yang disadari dan memerlukan suatu tindakan pemecahan, serta tidak segera tersedia suatu cara untuk mengatasi situasi itu. Bell (198:310) memberikan definisi masalah sebagai berikut : “a situation is a problem for a person if he or she aware of existence, recognize that it requires action, wants or need to act and does so, and is not immediately able to resolve the problem”.
Dari definisi di atas, ciri-ciri suatu situasi yang dapat dinyatakan sebagai masalah adalah situasi itu sendiri, ada kemauan dan merasa perlu melakukan tindakan untuk mengatasinya, serta tidak segera dapat ditemukan cara mengatasi situasi tersebut.
Demikian pula suatu pertanyaan merupakan masalah bagi seorang siswa, tetapi belum tentu merupakan masalah bagi siswa yang lain. menurut Polya (dalam Hudoyo, 1989:2), syarat suatu masalah bagi seorang siswa adalah:
1. Pertanyaan yang diharapkan kepada seorang siswa haruslah dapat diterima oleh siswa tersebut.
2. pertanyaan tersebut tidak dapat diselesaikan dengan prosedur rutin yang telah diketahui oleh siswa. Karena itu faktor waktu jangan dipandang sebagai hal yang esensial.
Di dalam matematika, “suatu soal atau pertanyaan akan merupakan suatu masalah apabila tidak terdapat aturan/hukum tertentu yang segera dapat digunakan untuk menjawab atau menyelesaikan” (Hudoyo: 198). Hal ini berarti bahwa suatu soal matematika akan menjadi masalah apabila soal itu tidak memberikan petunjuk penyelesaian.
Di dalam matematika terdapat dua jenis masalah menurut Polya (dalam Hudoyo, 1989:158) yaitu:
a) Masalah untuk menemukan berupa teoritis atau praktis, abstrak atau konkrit, termasuk teka teki. Kita harus mencari semua variabel tersebut; kita mencoba untuk mendapatkan, menghasilkan atau mengkonstruksi semua jenis obyek yang dapat dipergunakan untuk menyelesaikan masalah itu. Bagian utama dari masalah itu adala (1) apakah yang dicari?, (2) bagaimana data yang diketahui?, (3) bagaimana syaratnya?. Ketiga bagian utama tersebut sebagai landasan untuk dapat menyelesaikan masalah jenis ini.
b) Masalah untuk membuktikan adalah untuk menunjukkan bahwa suatu pertanyaan itu benar atau salah, tidak kedua-duanya. Kita harus menjawab pertanyaan “apakah pertanyaan itu benar atau salah?. Bagian utama dari masalah jenis ini adalah hipotesa dan konklusi dari suatu teorema yang harus dibuktikan kebenarannya. Kedua bagian utama tersebut sebagai landasan untuk dapat menyelesaikan masalah ini.
Setiap masalah tentu akan diselesaikan untuk menemukan jawabannya atau pemecahan masalahnya. Menurut Polya (dalam Hudoyo, 1989:112), pemecahan masalah merupakan usaha mencari jalan keluar dari suatu kesulitan untuk mencapai suatu tujuan yang tidak segera dapat dicapai. Menurut Polya (dalam Orton, 1992), ada empat tahap yang dapat dilakukan dalam memecahkan masalah yaitu : (1) memahami masalah, (2) membuat suatu rencana, (3) melaksanakan rencana tersebut, dan (4) memeriksa kembali hasil yang telah diperoleh.
Membelajarkan siswa memecahkan masalah dengan pemecahan masalah akan memungkinkan siswa lebih kritis dan analitis, sehingga siswa menjadi lebih baik dalam pendidikannya dan dalam kehidupan sehari-hari.
Dikatakan juga bahwa strategi pembelajaran di masa datang, sebab mampu mengaktifkan peserta didik, meningkatkan motivasi belajar dan kemandirian peserta didik mudah dikontrol. Akan tetapi ada juga kendalanya yaitu banyaknya peserta didik dalam satu kelas sehingga akan menggunakan waktu yang banyak dan membimbing peserta didik memecahkan masalah.

6. Keunggulan dan Kelemahan Metode Pembelajaran Berdasarkan masalah.
a. Keunggulan
Sebagai suatu strategi pembelajaran, metode pembelajaran berdasarkan masalah memiliki beberapa keunggulan, di antaranya:
1. Pemecahan masalah (problem solving) merupakan teknik yang cukup bagus untuk lebih memahami isi pelajaran.
2. Pemecahan masalah (problem solving) dapat menantang kemampuan siswa serta memberikan kepuasan untuk menemukan pengetahuan baru bagi siswa.
3. Pemecahan masalah (problem solving) dapat meningkatkan aktivitas belajar siswa
4. Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa bagaimana mentransfer pengetahuan mereka untuk memahami masalah dalam kehidupan nyata.
5. Pemecahan masalah (problem solving) dapat membantu siswa untuk mengembangkan pengetahuan barunya dan bertanggung jawab dalam pembelajaran yang mereka lakukan. Di samping itu, pemecahan masalah itu juga dapat mendorong untuk melakukan evaluasi sendiri baik terhadap hasil maupun proses belajarnya.
6. Melalui pemecahan masalah (problem solving) bisa memperlihatkan kepada siswa bahwa setiap mata pelajaran (matematikan, IPA, dan lain sebagainya), pada dasarnya merupakan cara berfikir dan sesuatu yang harus dimengerti oleh siswa, bukan hanya sekedar belajar dari guru atau dari buku-buku saja.
7. Pemecahan masalah (problem solving) dianggap lebih menyenangkan dan disukai siswa.
8. Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berfikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyesuaikan dengan pengetahuan baru.
9. Pemecahan masalah (problem solving) dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
10. Pemecahan masalah (problem solving) dapat mengembangkan minat siswa untuk secara terus-menerus belajar sekalipun belajar pada pendidikan formal telah berakhir.
b. Kelemahan
Di samping keunggulan, model pembelajaran berdasarkan masalah juga memiliki kelemahan diantaranya:
1. Manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba.
2. Keberhasilan strategi pembelajaran melalui problem solving membutuhkan cukup waktu untuk persiapan.
3. Tanpa pemahaman mengapa mereka berusaha untuk memecahkan masalah yang sedang dipelajari, maka mereka tidak akan belajar apa yang mereka ingin pelajari.






DAFTAR PUSTAKA



Nurhayati 2006 Model pembelajaran berdasarkan masalah .http://66.102.9.104/search?q=chace:PU669mSZj7sK:www.depdiknas.go.id/Jurnal/51/04040429%2520-ed-%2520nurhayati-penerapan%2520pembelajaran.pdf+model+pembelajaran+berdasarkan+masalah&hl=id&gl=id&ct=clnk=cd=2.

Sanjaya, Wina, 2006. Strategi Pembelajaran. Jakarta: Kencana, Prenada Aedia Group.
PEMBELAJARAN KOOPERATIF TIPE TGT
(Team Game Tournament)

Tipe TGT merupakan salah satu metode pembelajaran kooperatif yang diteliti secara luas. Tipe TGT sangat terkenal dan populer dikalangan para ahli pendidikan. Pembelajaran kooperatif tipe TGT merupakan model yang sangat mudah diterapkan, melibatkan aktivitas seluruh siswa tanpa harus ada perbedaan status, melibatkan peran siswa sebagai tutor sebaya dan mengandung unsure permainan dan reinforcement. Secara garis besar, uraian tentang model pembelajaran kooperatif tipe TGT adalah sebagai berikut :
1. Komponen TGT
Menurut Slavin ( 1994 : 84 ) ada 5 komponen utama dalam TGT yaitu: penyajian kelas (class presentation), kelompok (team), kuis (games), kompetisi (tournament) dan penghargaan kelompok (class recognition).
a. Penyajian Kelas (Class Presentation)
Presentasi kelas digunakan guru untuk memperkenalkan materi pelajaran dengan pengajaran langsung atau diskusi dapat juga dengan audiovisual. Fokus presentasi kelas hanya menyangkut pokok – pokok materi dan teknik pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Pada saat penyajian kelas ini siswa harus benar – benar memperhatikan dan memahami materi yang disampaikan guru, karena akan membantu siswa bekerja lebih baik pada saat kerja kelompok dan pada saat game karena akan menentukan skor game dan ini akan menentukan pula pada skor kelompok.
b. Kelompok (Team)
Dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT tim terdiri dari 4 sampai 6 siswa anggota kelas. Anggota tim mewakili kelompok yang ada di kelas dam hal kemampuan akademik, jenis kelamin, ras atau suku. Fungsi utama tim tersebut adalah untuk memastikan bahwa semua anggota tim belajar, lebih khusus lagi untuk menyiapkan anggotanya supaya dapat mempelajari LKS dan mengerjakan soal – soal dalam turnamen dengan baik. Setelah presentasi kelas kegiatan tim umumnya adalah diskusi antar anggota saling membandingkan, memeriksa dan mengoreksi kesalahan konsep anggota lain.
c. Kuis (Games)
Pertanyaan dalam games disusun dan dirancang dari materi – materi yang relevan dengan materi yang telah diperoleh mewakili masing – masing kelompok. Sebagian besar pertanyaan pada kuis adalah bentuk sederhana. Setiap siswa mengambil sebuah kartu yang diberi nomor pada kartu tersebut.
d. Kompetisi (Tournament)
Turnamen adalah dimana saat permainan berlangsung. Ilustrasi antara tim – tim yang anggotanya heterogen dan meja – meja turnamen dengan anggota yang homogen.

TIM A















Gambar 1
Penempatan Siswa dan Tim ke Meja Turnamen

Gambar diatas menunjukkan bahwa penempatan siswa pada meja turnamen berdasar rangking siswa dalam tim. Meja turnamen 1 adalah meja tempat berkompetisi siswa dengan kemampuan awal tertinggi dalam tim sebagai meja yang tertinggi tingkatannya daripada meja turnamen II. Meja turnamen II lebh tinggi tingkatannya daripada meja turnamen III. Meja IV adalah meja yang paling rendah tingkatannya.
Setelah turnamen selesai dan dilakukan penilaian guru mengatur kembali kedudukan siswa pada tiap meja turnamen, kecuali pemenang pada meja tertnggi. Pemenang pada setiap meja dinaikkan atau digeser satu tingkat ke meja yang lebih tinggi tingkatannya dan yang mendapatkan skor terendah pada setiap meja turnamen selain yang ada pada meja terendah tingkatannya diturunkan satu tingkat ke meja yang lebih rendah tingkatannya. Pada akhirnya mereka akan mengalami penaikkan atau penurunan sehingga mereka akan sampai pada meja yang sesuai dengan kinerja mereka.
e. Penghargaan Kelompok (Class Recognition)
Tim – tim yang telah berhasil mendapat nilai rata – rata melebihi criteria tertentu diberi penghargaan berupa sertifikat atau penghargaan bentuk lain.

2. Persiapan Pembelajaran
Menurut Slavin ( 1994 : 88 ) persiapan – persiapan pembelajaran kooperatif tipe TGT meliputi persiapan materi, penetapan siswa dalam tim, kerjasama tim, penempatan siswa pada meja turnamen. Adapun uraian persiapan masing – masing adalah sebagai berikut :
a. Persiapan Materi
Materi pelajaran dirancang sedemikian rupa sehingga dapat disajikan dalam presentasi kelas dalam kerjasama ini dan dalam turnamen. Bentuk rancangan tersebut dapat dikemas dalam satu perangkat pembelajaran yang terdiri dari program satuan pelajaran, rencana pembelajaran, buku petunjuk guru, buku siswa, lembar kegiatan siswa yang akan dipelajari siswa dalam belajar kelompok, kelengkapan turnamen yang akan digunakan dalam turnamen akademik, dan test hasil belajar.

b. Penempatan Siswa dalam Tim
Setiap tim dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT sebanyak 4 – 6 siswa, yang terdiri dari siswa pandai, sedang, dan kurang. Selain itu dalam pembagian kelompok guru sebaiknya mempertimbangkan criteria lainnya misalnya jenis kelamin, latar belakang social, kinerja, suka atau tidak suka lainnya. Siswa rangking pertama pada setiap tim pada meja I, empat rangking berikutnya pada meja II, empat rangking berikutnya pada meja III dan seterusnya. Penempatan siswa pada meja turnamen dari contoh di atas tampak pada table I.
c. Penempatan Siswa Pada meja Turnamen
Dalam satu meja turnamen terdiri dari 3 sampai 4 siswa yang ber kompetensi dengan kemampuan setara dan sebaga wakil tim yang berbeda. Misalkan satu kelas yang terdiri atas 20 siswa terbentuk dalam 4 tim dan setiap tim 5 – 6 siswa, diinginkan dalam satu meja turnamen terdiri dari 3 – 4 siswa sehingga akan terdapat 6 meja turnamen. Lima meja masing – masing terdiri 4 siswa dan satu meja dengan 3 siswa.
Table 1
Contoh : Penerapan Siswa pada Meja Turnamen
No. Siswa Tim Meja Siswa pada turnamen Ke -
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
1 Sam I 1
2 Maria II 1
3 Tom III 1
4 Kim IV 1
5 Ruth IV 2
6 Sylvia III 2
7 Liz II 2

Nomor – nomor meja turnamen hanya ada pada catatan guru, sewaktu mengumumkan kepada siswa nomor meja diganti misalnya dengan huruf atau dengan menyebut meja – meja tersebut dengan meja biru, meja merah, meja kuning dan lainnya sehingga siswa tidak tahu secara tepat bagaimana penempatan siswa yang dilakukan guru pada setiap meja turnamen.

3. Langkah dan Aktivitas Pembelajaran
Langkah – langkah dalam pembelajaran kooperatif tipe TGT mengikuti urutan berikut : pengaturan klasikal, belajar kelompok, turnamen akademik, penghargaan tim dan pemindahan atau bumping.
a. Pengaturan Klasikal dan Belajar Kelompok
Pembelajaran diawali dengan memberikan pelajaran selanjutnya diumumkan kepada siswa penugasan tim dan siswa diminta memindahkan bangku untuk membentuk meja tim. Kepada siswa disampaikan bahwa mereka akan bekerjasama dengan tim selama beberapa minggu, dan mengikuti turnamen akademik untuk memperolehatau menambah poin bagi nilai tim mereka, serta diberitahukan bahwa tim yang mendapat nilai tinggi akan menilai penghargaan.
b. Turnamen Akademik dan Penskoran
Kegiatan dalam langkah tuurnamen adalah persaingan pada meja turnamen dari 3 – 4 siswa berasal dari tim yang berbeda dengan kemampuan setara. Pada permulaan turnamen, diumumkan penetapan meja bagi setiap siswa. Siswa diminta mengatur meja turnamen dan menyuruh siswa menuju ke meja turnamen yang telah ditetapkan. Nomer meja turnamen dapat diacak. Setelah kelengkapan dibagikan turnamen dapat dimulai. Bagan dari putaran permainan dengan 3 orang dalam satu meja turnamen digambarkan sebagai berikut :








Pembaca










Untuk memulai game, siswa mengadakan undian untuk menentukan pembaca pertama, penantang I, dan penantang II. Urutan permainan searah jarum jam dari pembaca pertama. Selanjutnya pembaca pertama mengocok kartu yang paling atas. Dia kemudian membaca dengan keras pertanyaan yang ada pada kartu, dan membacakan kemungkinan jawaban jika jenis soalnya pilihan ganda. Misal seorang siswa mengambil kartu nomor 21, kemudian membaca dan menjawab pertanyaan tersebut. Pembaca kartu yang tidak yakin akan jawabannya diijinkan menebak tanpa hukuman.
Jika isi permainan memuat kasus maka semua siswa harus mengerjakan kasus tersebut sehingga mereka siap untuk menantang. Setelah pembaca memberikan jawaban,siswa disebelah kirinya (penantang) yang memiliki jawaban yang tidak sama menantang dan memberikan jawabanya. Jika dia lolos, atau jika penantang kedua memiliki jawaban yang berbeda dengan penantang pertama, penantang kedua boleh menantang.
Para penantang harus berhati –hati karena mereka harus mengemballikan kartu kemenangan (jika punya) di dalam kotak jika mereka menjawab salah. Ketika semua orang telah menjawab, menantang atau lolos, penentang kedua mengecek lembar jawab (ada pada guru) dan membaca jawaban yang benar. Pemain yang menjawab benar menyimpan kartu.jika kedua penantang menjawab salah, dia harus mengembalikan kartu kemenangan sebelumnya (jika ada).
Untuk putaran berikutnya, penantang I menjadi pembaca, penantang II menjadi penantang I dan pembaca menjadi penantang II, demikian seterusnya seperti yang ditentukan guru sampai waktu habis atau tumpukan kartu habis. Ketika permainan selesai, pemain mencatat jumlah kartu yang mereka menangkan pada lembar skor game pada kolom game 1 (table 2). Jika masih ada waktu, dan permainan dilanjutkan, siswa mengocok ulang tumpukan kartu dan bermain permainan kartu kedua sampai waktu berakhir. Selanjutnya catat nomor kartu yang dimenangkan pada kolom game 2 pada lembar skor game pada table 2.
Table 2
Lembar Skor Game TGT
Meja :………………….
Putaran :…………………
Pemain Team Game 1 Game 2 Game 3 Total harian Poin Putaran
Junot 5 6 11 20
Nia 13 9 22 60
Andi 10 11 21 40

Semua siswa harus bermain pada waktu yang sama. Sambil mereka bermain, pindah dari grup ke grup untuk menjawab pertanyaan dan yakinkan bahwa setiap orang memahami prosedur permainan. Sepuluh menit sebelum permainan baerakhir perintahkan siswa untuk berhenti dan menghitung kartunya. Kemudian mereka harus mengisi nama mereka, tim, skor pada lembar skor game seperti table 2.
Perintahkan siswa menambah skor yang mereka peroleh pada setiap game jika mereka bermain lebih dari satu kali, dan isilah dalam jumlah total skor harian mereka. Untuk siswa yang usianya lebih muda hanya mengumpulkan lembar skor, dan siswa yang usianya lebih dewasa suruh menghitung skor mereka sendiri, seperti ditunjukkan pada table 3, table 4, table 5 sebagai contoh menghitung poin turnamen untuk semua hasil turnamen.


Table 3
Menghitung Poin Turnamen Untuk Permaianan 4 Pemain
Tingkatan Skor Pemain Tidak Seri Seri Pada tingkat tinggi Seri pada tingkat sedang Seri pada tingkat rendah Seri pada 3 Tertinggi Seri pada 3 terendah Semua seri Seri untuk Rendah dan Tinggi
Tinggi 60 50 60 50 60 60 40 50
Tinggi
Sedang 40 50 40 40 50 30 40 50
Sedang
Rendah 30 30 40 30 50 30 40 30
Rendah 30 20 20 30 20 30 40 30

Table 4
Menghitung Poin Turnamen untuk Permaianan 3 Pemain
Tingkatan Skor Pemain Tidak Seri Seri untuk Tingkat Tinggi Seri untuk Tingkat Rendah Semua Seri
Tinggi 60 50 60 40
Sedang 40 50 30 40
Rendah 20 20 30 40

Table 5
Menghitung Poin Turnamen untuk Permainan 2 Pemain
Tingkatan Skor Pemain Tidak Seri Seri
Tinggi 60 40
Rendah 20 40



c. Pengakuan Tim
Untuk menghitung skor tim dan mempersiapkan sertifikat atau penghargaan lain, dilakukan langkah – langkah sebagai berikut :
1. Menghitung Skor Tim
Setelah selesai turnamen, menghitung skor tim dan mempersiapkan sertifikat atau penghargaan lain untuk tim dengan skor tinggi. Untuk melakukan ini ceklah poin turnamen pada skor permainan, kemudian pindahkan poin turnamen masing – masingpada lembar ringkasan pada masing – masing tim, tambahkan semua skor anggota tim dan bagilah nomor anggota tim yang hadir. Table 6 menunjukkan pencatatan dan penjumlahan skor untuk satu tim.

Table 6
Contoh : Lembar Ringkasan Skor Tim

Anggota Tim 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
Mark 60 20 20 40
Kevin 40 40 20 60
Lisa A 50 20 40 60
John F 60 60 20 40
Dewanda 40 40 60 20
Total skor tim 250 180 160 220
Rata – rata tim 50 36 32 44
Penghargaan Super tim Good tim

2. Pencapaian Pengakuan Tim
Tiga tingkatan penghargaan pada TGT diberikan pada skor tim rata – rata. Tiga tingkatan penghargaan tersebut adalah sebagai berikut :

Skor rata – rata tim Penghargaan
40 Good Team
45 Great Team
50 Super Team

Tim yang mencapai criteria Great Team atau Super Team boleh diberi sertifikat penghargaan, sedangkan untuk Good Team sebaiknya diberi ucapan selamat saja di dalam kelas. Kemenangan bisa diumumkan di papanpengumuman di sekolah, bila perlu pasang foto mereka dan nama timnya. Hal ini akan memberi motivasi siswa untuk membantu teman timnya belajar.
d. Bumping
Menurut Slavin ( 1994 : 91 ), bumping atau penempatan kembali siswa pada meja turnamen baru harus dilakukan untuk mempersiapkan turnamen berikutnya. Melakukan bumping lebih mudah ketika sedang menghitung skor tim. Gambar 3 merupakan prosedurnya, table 7 menggambarkan lembar penempatan meja turnamen yang lengkap dimana menunjukkan bagaimana bumping bekerja setelah dua turnamen. Untuk menempatkan kembali siswa menggunakan langkah – langkah sebagai berikut :
1. Gunakan lembar skor game untuk mengidentifikasi skor tertinggi dan rendah pada masing – masing meja turnamen. Pada lembar penempatan meja turnamen, lingkarilah meja penempatan untuk semua siswa yang memiliki skor paling tinggi pada meja mereka. Jika ada skor sama untuk skor tinggi pada meja – meja, putarlah koin untuk memutuskan nomor mana yang akan dilingkari, jangan melingkari lebih dari satu nomor per meja. Pada table 7 memperlihatkan Tyrone, Maria, Tom, Carla, dan Ralp sebagai pemenang pada turnamen pertama, maka nomor meja mereka dilingkari pada kolom pertama. Tyrone, Liz, John F, Tanya, dan Ruth merupakan pemilik skor tertinggi pada turnamen kedua, maka nomor mereka dilingkari pada kolom kedua.
2. Garisbawahi nomor meja siswa yang mendapatkan skor lebih rendah, danlagi jika ada penyamaan untuk skor rendah pada beberapa meja, putarlah koin untuk memutuskan mana yang harus digaris bawahi, jangan menggarisbawahi lebih dari satu nomor per meja. Pada table 7 Sarah, John F, dan Sherly memiliki skor rendah pada meja mereka pada turnamen pertama.
3. Tinggalkan semua penempatan meja yang lain termasuk nomor untuk sisiwa yang absen
4. Pada kolom untuk turnamen berikutnya, transfer nomornya ssebagai berikut : jika nomornya dilingkari, kurangi 1 ( 4 menjadi 3 ). Maksudnya bahwa pemenang pada meja 4 akan bersaing minggu berikutnya pada meja 3, yaitu meja kompetisi yang lebih sulit. Perkecualiannya hanyalah 1 sisa 1, karena meja 1 adalah meja tertinggi. Jika nomornya digarisbawahi, naikkan 1 ( 4 menjadi 5 ), kecual meja terendah, dimana pemilik skor terendah pada masing – masing meja akan bersaing minggu depan pada meja yang kompetisinya tidak terlalu sulit. Jika mejanya tidak juga digarisbawahi, transferlah ke nomor yang sama.
Tim 1
  
Tim 2
  
Tim 3
  
Tim 4
  
Tim 5
  
Gambar 3 Bumping
Pada table 7 catatlah bahwa Tom pemilik skor tertinggi pada meja 3 pada turnamen pertama telah dipindah ke meja 2. Pada meja 2 dia memiliki skor terendah, maka untuk minggu ketiga turnamen dia akan bertanding pada meja 3 lagi. Sylvia pemilik skor sedang pada meja 3 pada turnamen pertama maka ia tetap di meja 3, kemudaian dia memiliki nilai rendah pada turnamen kedua dan pindah ke 4.
Table 7
Lembar Tabel Penempatan Turnamen
No. Siswa Tim
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
1 Sam Orioles 1 1 2
2 Sarah Cougars 1 2 2
3 Tyrone Whis Kids 1 1 1
4 Maria Geniuses 2 1 1
5 Liz Orioles 2 2 1
6 John J Cougars 2 3 1
7 Sylvia Whis Kids 3 3 4
8 Tom Geniuses 3 2 3
9 John F Orioles 3 4 5
10 Tanya Cougars 4 4 3
11 Carla Whis Kids 4 3 3
12 Kim Geniuses 4 5 5
13 Carlos Orioles 4 4 4
14 Sherly Cougars 5 5 5
15 Ralph Whis Kids 5 4 4
16 Ruth Geniuses 5 5 4
Catatan : 3 menunjukkan pemilik skor tinggi meja 1
3 menunjukkan pemilik skor sedang meja 2
3 menunjukkan pemilik skor rendah meja 3

Hitunglah nomor siswa yang ditempatkan pada masing – masing meja untuk turnamen minggu depan. Kebanyakan meja terdiri dari 3 siswa, sebanyak 2 meja boleh berisi 4. Jika penempatan meja tidak berjalan semestinya karena mungkin ada siswa yang absent, buatlah perubahan sehingga tetap bekerja. Juga diperbolehkan merubah penempatan meja untuk menghindari satu meja yang berasal dari tim yang sama.
Catatlah bahwa table 7 Tyrone pemilik skor tertinggi dua kali pada meja 1 tetapi tidak berubah meja, karena tidak ada tempat yang lebih tinggi daripada meja 1. Sherly dan Kim pemilik skor terendah pada meja 5 tetapi tidak dipindah ke bawah karena meja 5 merupakan meja terendah.

e. Merubah Tim
Setelah 5 atau 6 minggu pelaksanaan TGT atau pada akhir periode penilaian atau unit, tempatkan siswa dengan tim baru.
f. Mengkombinasikan TGT dengan Aktifitas Lain
Menurut Slavin ( 1994 : 95 ), guru dapat menggunakan TGT untuk satu bagian dari pembelajaran dan metode lain untuk bagian lain. Missal, guru lain boleh menggunakan TGT satu minggu untuk masing – masing konsep dasar, tetapi gunakan latihan – latihan yang menggunakan laboratorium untuk dua hari berikutnya. Prosedur ini memberikan ide guru lebih baik untuk kemajuan siswa daripada turnamen saja. TGT sangat berguna dalam memberikan pemahaman bagi siswa pada materi yang dipelajari.
g. Penilaian
TGT tidak secara otomatis menghasilkan nilai yang dapat digunakan untuk menghitung skor individu. Kalau ini terjadi akan menjadi hal yang serius, pertimbangkan untuk menggunakan model lain sebagai pengganti TGT. Untuk menentukan nilai individual, banyak guru yang menggunakan TGT memeberikan mid test atau final test pada masing – masing semester, beberapa guru memberikan kuis setelah turnamen tidak dalam poin skor turnamen atau skor tim. Akan tetapi poin turnamen siswa atau skor tim dapat dibuat bagian kecil dari nilai mereka, atau jika sekolah dapat memberikan nilai terpisah agar supaya nilai ini dapat digunakan untuk nilai usaha.

Kebaikan dan kelemahan pembelajaran kooperatif tipe TGT
Kebaikan :
a. Dalam kelas kooperatif siswa memiliki kebebasan untuk berinteraksi dan menggunakan pendapatnya.
b. Rasa percaya diri siswa menjadi lebih tinggi.
c. Perilaku mengganggu terhadap siswa lain menjadi relative lebih kecil.
d. Motivasi belajar siswa menjadi lebih besar.
e. Meningkatkan kebaikan budi, kepekaan, toleransi antara siswa dengan siswa antara siswa dengan guru.
Siswa dapat menelaah sebuah mata pelajaran atau pokok bahasan, bebas mengaktualisasikan diri dengan seluruh potensi yang ada dalam diri siswa tersebut dapat keluar. Selain itu kerjasama antar siswa dengan guru akan membuat interaksi belajar dalam kelas menjadi hidup dan tidak membosankan.

Kelemahan
a. Sering terjadi dalam kegiatan pembelajaran tidak semua siswa ikut serta mengembangkan pendapatnya.
b. Kekurangan waktu untuk proses pembelajaran.
c. Kemungkinan terjadi kegaduhan kalau guru tidak dapat mengelola kelas.
Guru yang kurang cerdas dalam mengelola kelas dan siswa akan menjadi penyebab kegagalan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT sebab dibutuhkan kecerdasan emosi untuk memotivasi siswa dalam mengaktualisasikan diri dan mengelola waktu dengan sebaik mungkin
Ciri khas yang membedakan metode pembelajaran kooperatif tipe TGT dengan metode pembelajaran kooperatif lainnya adalah adanya turnamen yang mempertandingkan antar kelompok.
DAFTAR PUSTAKA


Khasanah, nur.2006 Pengaruh Pembelajaran Kooperatif Tipe Time Game Tournament (TGT) dan Numbered Head Together (NHT) terhadap Prestasi Belajar Matematika Ditinjau dari Motivasi Belajar Siswa di SMP N 1 Padamara Purbalingga, Skripsi.

Kusno. 2005. Diktat Belajar Pembelajaran. Tidak Dipublikasikan. UMP: Purwokerto.

-----------. 2006. Pembelajaran. http://learning-with-me.blogspot.com/2006/09/pembelajaran
html#33. .